Selasa, 19 Januari 2016

sejarah kepemimpinan Umar Bin Khottob

oleh: misbakhul Ilham

Nama  Lengkap  beliau  adalah  Umar  Ibn  Khattab  Ibn  Nufail  Ibn Abd  al-‘Uzza  Ibn  Riyah  Ibn  Qurth  Ibn  Razah  Ibn  ‘Adiy  Ibn  Ka’ab  Ibn  Lu’aiy al-Qurasyiy al-‘Adawiy. Beliau dilahirkan tiga belas tahun setelah tahun Gajah (tahun  kelahiran Nabi Muhammad). Ini berarti beliau lebih muda  tiga  belas  tahun  dari  Nabi  Muhammad  SAW.  Sedangkan  Ibunya bernama  Hantamah  binti  Hasyim  bin  Mughiroh  bin  Abdullah  bin  Umar bin  Makhzum. Nasab  beliau  bertemu  dengan  nasab  Nabi  Muhammad SAW pada Ka’ab Ibn Luay. Beliau berasal dari kalangan keluarga terpandang suku ‘Adiy yang termasuk  rumpun  Quraisy.  Beliau  memiki  kecerdasan  yang  luar  biasa, bahkan dikatakan mampu memprakirakan hal-hal  yang  akan terjadi pada masa yang akan datang.Beliau menjadi orang yang dipilih sebagai duta dari  kabilahnya  pada  masa  Jahiliyyah.  Jika  terjadi  perselisihan  di  antara para  kabilah,  maka  beliau  lah  orang  yang  diutus  untuk  melerai  dan mendamaikan.  Hal  ini  menandakan  bahwa  beliau  memiliki  kecerdasan, keadilan, serta kebijaksanaan.
Umar masuk islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting.
2.6    Pengangkatan Khalifah
            Pada saat Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijakan Abu Bakar tersebut tenyata di terima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya kholifah-kholifati Rosulillah artinya pengganti dari pengganti Rosulullah. Umar juga memperkenalkan istilah amiril mukminin kepada umat Islam.
            Namun demikian mengenai pengangkatan Umar sebagai Kholifah tidak ada hubunganya dengan kekerabatan Nabi, tetapi memang Umar dinilai sebagai orang yang memiliki sifat sifat pemimpin besar dan selama pemerintahan Abu Bakar, kepribadianya berkembang pesat. Seperti diketahui pula bahwa setelah Rosulullah meninggal dunia, Umar bin Khottob adalah kandidat dari kalangan Muhajirin ia sangat berpengaruh ketika mengarahkan orang-orang Madinah untuk menerima Abu Bakar sebagai Kholifah, dan hal itu dapat disimpulkan bahwa Umar sudah di percayai. Umar telah muncul sebagai orang yang kemampuanya telah terbukti dan hampir dapat dipastikan bahwa dia pemimpin terpilih. Karena itu ketika Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai penggantinya berdasarkan musyawarah sebelumnya, mayoritas umat Islam mudah menerimanya.
Abu  Bakar  pun  lalu  membuat  bai’at  yang  berisi  penunjukan Umar  Ibn  Khattab  sebagai  penggantinya,  dan  dengan  demikian  orangorang mukmin harus patuh terhadapnya.Pengangkatan  Umar  Ibn  Khattab  sebagai  Khalifah  dengan  cara demikian  memang  terkesan  ada  tendensi  rekayasa  dan  rencana  dari khalifah  sebelumnya.  Akan  tetapi  keadaan  demikian  tidak  menimbulkan permasalahan di kalangan umat Islam waktu itu. Umar  diangkat  menjadi  khalifah  dengan  dibai’at  pada bulan Jumada  al-Akhirah  tahun  13  Hijriyah.  Az-Zuhri  berkata  bahwa  Umar diangkat  menjadi  khlaifah  pada  hari  Abu  Bakar  wafat,  pada  hari  Selasa delapan  hari  sebelum  bulan  Jumada  al-Akhirah.
2.7    Perluasan Wilayah
Dalam  masa  kepemimpinan  sepuluh  tahun  `Umar  itulah penaklukan-penaklukan  penting  dilakukan  orang  Arab. Tak  lama sesudah  Umar  memegang  tampuk  kekuasaan  sebagai  khalifahH,  pada tahun  635 M/ 13 H  Damaskus  berhasil  dikuasai  bawah pimpinan panglima Abu Ubaidah bin Jarrah. Kemudian seluruh wilayah Suriah dapat dikuasai setelah kekuasaan Bizantium menyerah akibat kekalahan dalam pertempuran yarmuk pada tahun 637 M/ 16. kesuksesan ini kemudian di tindaklanjuti dengan menjadikan Suriah salah sebagai basis kekuatan pasukan Islam. Kemudian exspansi diteruskan ke mesir di bawah pimpinan Amr bin Ash dan mesir pun dapat dikuasai pada tahun 640 M/ 19 H. kesuksesan demi kesuksesan dicapai oleh pasukan Islam dalam perluasan wilayah ini.
Selanjutnya dari wilayah Suriah itu, pasukan Saad bin Abi Waqas melakukan exspansi ke wilayah Irak. Setelah menguasai Al-Qadisiah tahun 637 M/ 16 H dalam satu pertempuran besar mengalahkan tentara Persia, ia melanjutkan penyerbuan ke Almadain (Ctesiphon) sebagai ibukota Persia pada tahun yang sama. Setelah Islam berkuasa di wilayah ini, kota Kuffah, yang mulanya merupakan perkemahan militer Islam di daerah al-Hira dijadikan sebagai ibukota.
Di zaman kholifah Umar bin Khottob ini wilayah umat Islam menjadi sangat luas, meliputi Suriah, Mesir, Khuzistan, Irak, Armeira, Arzabaijan, Fars, Kirman, Khurasan, Makran, Balachistan, dan Asia kecil. Sehingga peta daerah kekuasaan meliputi 2.251.030 mil persegi. Menjelang akhir pemerintahan Umar pada tahun 644 M/23, Negara Islam meliputi Persia barat, seluruh Iraq, Suriah, Mesir selatan dan sebagian Afrika utara. Tentu dengan adanya exspansi ini telah terjadi perluasan daerah di samping penambahan jumlah penduduk Islam.
2.8 Pemerintahan Negara
1.    Agama.
Penaklukan-penaklukan yang terjadi pada masa Umar menyebabkan orang ramai-ramai memeluk agama Islam namun meskipun demikian tentu tidak ada paksaan terhadap mereka yang tidak mau memeluknya. Maka masyarakat saat itu adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai agama, dan hal ini tentu saja berpengaruh tehadap masyarakat Islam, mereka mengenal ajaran-ajaran selain Islam seperti Nasrani, Yahudi, Majusi Shabiah dan lainnya. Masyarakat muslim otomatis akan belajar toleransi terhadap pemeluk agama lainnya, dan kemajemukan beragama seperti ini akan kondusif untuk melahirkan faham-faham baru dalam agama yang positif maupun negatif meskipun pada masa Umar bin Khattab r.a belum ada cerita tentang munculnya faham seperti ini.
Meskipun begitu aktivitas ini tidak terlalu menonjol, karena memang mayoritas masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a dihabiskan untuk melakukan ekspansi-ekspansi. Kebanyakan praktek-praktek agama yang dibawa oleh mayoritas pasukan Islam yang berbangsa Arab adalah paduan antara praktek-praktek dan prinsip Islam dengan praktek dan hukum adat orang-orang pada umumnya.
2.        Sosial.
Keadaan sosial juga mulai berubah, perubahan-perubahan ini sangat terlihat pada masyarakat yang hidup diwilayah taklukan-taklukan Islam, mereka mengenal adanya kelas sosial meskipun Islam tidak membenarkan hal itu. Tetapi kebijakan-kebijakan tentang pajak, hak dan kekayaan yang terlalu jauh berbeda telah menciptakan jurang sosial, ditambah lagi bahwa memang sebelum datangnya Islam mereka telah mengenal kelas sosial ini. Seperti kebijakan pajak yang berlaku pada masa Umar bin Khattab telah membagi masyarak kepada dua kelas, yaitu:
a. Kelas wajib pajak: buruh, petani dan pedagang.
b. Kelas pemungut pajak: pegawai pemerintah, tentara dan elit masyarakat.
3.        Ekonomi.
a.    Perdagangan, Industri dan Pertanian.
Meluasnya daerah-daerah taklukan Islam yang disertai meluasnya pengaruh Arab sangat berpengaruh pada bidang ekonomi masyarakat saat itu. Banyak daerah-daerah taklukan menjadi tujuan para pedagang Arab maupun non Arab, muslim maupun non muslim, dengan begitu daerah yang tadinya tidak begitu menggeliat mulai memperlihatkan aktifitas-aktifitas ekonomi, selain menjadi tujuan para pedagang juga menjadi sumber barang dagang. Maka peta perdagangan saat itupun tentu berubah seperti Isfahan, Ray, Kabul, Balkh dan lain-lain.
Sumber pendapatan rakyatpun beragam mulai dari perdagangan, pertanian, pengerajin, industri maupun pegawai pemerintah. .
b.         Pajak.
Pajak saat itu ditetapkan berdasarkan profesi, penghasilan dan lain-lain. Sistem pajak yang diberlakukan di suatu daerah pada dasarnya adalah sistem yang dipakai di daerah itu sebelum ditaklukkan. Seperti di Iraq yang diberlakukan sistem pajak Sasania. Tapi kalau daerah itu belum mempunyai satu sistem pajak yang baku, maka sistem pajak yang diberlakukan adalah hasil kompromi elit masyarakat dan penakluk. Yang bertugas mengumpulkan pajak tersebut adalah elit masyarakat yang selanjutnya diserahkan kepada pemerintah daerah untuk diserahkan ke pemerintah pusat. Pajak yang ditanggung oleh masyarakat adalah :
1.        Pajak jiwa, pajak ini berdasar jumlah masyarakat dan dipikul bersama. Yang bertugas melakukan penghitungan adalah tokoh masyarakat juga.
2.    Pajak bumi dan bangunan, tanah wajib pajak adalah seluas 2400 m2 jumlahnya tergantung pada kualitas tanah, sumber air, jenis pertanian, hasil pertanian dan jarak ke pasar.
3.    Dinamika Politik dan Adminstrasi. Pemerintahan Umar bin Khattab pada dasarnya tidak memaksakan sebuah sistem administrasi baru di wilayah taklukan mereka. Sistem adaministrasi yang berlaku adalah kesepakatan antara pemerintah dengan elit lokal wilayah tersebut. Dengan begitu, otomatis tidak ada kesamaan administrasi suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Tampaknya hal ini tidaklah menjadi masalah penting pada saat itu.
2.9 Harta Rampasan Perang (ghanimah)
Sebagai  akibat lebih lanjut dari penaklukan-penaklukan yang terjadi, maka terbukalah sumber-sumber ekonomi yang tidak diperoleh sebelumnya ditengah-tengah jazirah Arab. Pajak-pajak dari daerah taklukan mengalir ke Madinah. Abu Yusuf  melaporkan  dari  sumber  yang  berasal  dari  Saaid  ibn  Musayyab,  bahwa ketika  1/5  rampasan  perang  Persia  dibawa  ke  Medinah  Umar  memerintahkan agar diletakkan di Masjid dan menyuruh Abd al-Rahman ibn Auf dan Abdullah ibn  Arqam  menjaganya.  Setelah   pagi  hari,  barang-barang  hasil  rampasan  itu dibuka  tutupnya,  maka  tampaklah  oleh  Umar  sesuatu  yang  belum  pernah dilihatnya sebanyak itu berupa  emas, perak, intan dan berlian. Beliau menangis. Maka Abd al-Rahman ibn Auf berkata, seharusnya kita bersyukur, tetapi kenapa tuan justru menangis ? Umar menjawab, ya kita bersyukur.
      Dalam  masa  pemerintahannya,  Umar  memang  menerima  1/5  rampasan perang  dari  setiap  pasukan  muslimin  yang  mendapat  kemenangan,  disamping Kharaj  (pajak  bumi)  yang  diterima  dari  mereka  yang  sudah  terkait  dalam perjanjian  yang  hidup  dari  tanah  mereka  itu,  juga  Jizyah  (pajak  kepala)  yang berasal dari mereka yang kalah tapi tidak mau masuk Islam. Khalifah Umar membiarkan tanah yang diperoleh dari suatu peperangan (ghanimah) digarap oleh pemiliknya sendiri di negeri yang telah ia taklukkan dan melarang kaum muslimin memilikinya karena mereka menerima tunjangan dari baitul mal atau gaji prajurit masih aktif. Sebagai gantinya, atas tanah itu dikenakan pajak (Al-Kharaj)
2.10 Pelimpahan wewenang kepada hakim daerah.
Pada masa Umar bin Khattab, kekuasaan yudikatif (qadhi) mulai dipisahkan dari kekuasaan eksekutif (ke khalifahan atau ke wali an ). Dan mulai diatur tata laksana Peradilan, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah Hakim untuk menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat, bersendikan al Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Qiyas. Pemisahan tersebut ditandai dengan di angkatnya para wulat gubernur, ahl al-hal wa al-‘aqd (lempbaga penengah dan pemberi fatwa), pendirian pengadilan, pengangkatan qadhi yang jumlahnya diseimbangkan dengan penduduk.
Diantara mereka para gubernur yang masyhur adalah Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdullah ibn Mas’ud, Salman bin Rubai’ah, Qais ibn Abi al-Ash, Ya’la ibn Umayyah (gubernur Yaman), Mughiroh ibn Syu’bah (kuffah), Muawiyah ibn Abi Sufyan (syam), Utsman ibn Abi al-Ash (Bahrain dan Oman), Abu Musa al-Asyari (Bashrah), dan Umair ibn Sa’id (Emessa). Namun pada saat itu, baru beberapa provinsi yang memiiki pejabat Hakim, yaitu Syarih bin Al HArits Hakim untuk Kuffah, Abu Musaal Asy’ari Hakim untuk Basrah, Qais bin Abi al Ash al Sahami Hakim untuk Mesir, sedangkan Hakim Madinah di pegang oleh Abu Darda, sedangkan untuk provinsi lain Hakim masing dipegang oleh gubernur Namun demikian untuk beberapa provinsi, khalifah Umar telah memisahkan jabatan Peradilan dengan jabatan eksekutif. Hakim diberi wewenang sepenuhnya untuk melaksanakan Pengadilan yang bebas dari pengaruh dan pengawasan gubernur, bahkan khalifah sekalipun. Tidak hanya itu, pada masa Umar, dibentuk juga lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina yang langsung di tangani oleh Hakim. Lembaga tersebut adalah ahdath dengan Qadamah bin Mazan dan Abu Hurairah sebagai pemimpinnya. Pada masa Umar juga, disusun risalat al qadha yang dibuat oleh Abu Musa al Asy’ary –Hakim Kufah – atas intruksi dari Umar bin Khattab. Risalat tersebut isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang dan pokok-pokok hukum yang harus dipegang oleh Hakim dalam menyelesaikan perkara yang sekarang dikenal dengan hokum acara. Risalah tersebut sangat terkenal, bahkan sampai sekarang masih dijadikan sebagai pegangan/pedoman pokok para Hakim dalam melaksanakan tugasnya.
2.11     Sistem Pertahanan
Umar bin Khattab dicatat sejarah sebagai orang yangpertama kali mendirikan kamp-kamp militer yang permanen. Beliau mendirikan pos  militer  di  daerah  perbatasan.  Beliau  juga  mengatur  berapa  lama seorang  suami  diperbolehkan  pergi  berjihad  meninggalkan  isterinya, yaitu  tidak  melebihi  4  bulan.  Beliau  juga  orang  yang  pertama  kali memerintahkan  panglima  perang  untuk  menyerahkan  laporan  secara terperinci  mengenai  keadaan  prajurit.  Beliau  juga  membuat  buku khusus  untuk  mencatat  para  prajurit  dan  mengatur  secara  tertib  gaji tetap  mereka.  Beliau  juga  mengikutsertakan  dokter,  penerjemah,  dan penasihat yang khusus menyertai pasukan.


DAFTAR PUSTAKA

Amir, Samsul Munir. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah.
Fuadi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta : Teras.
Murad, Musthafa. 2014. Kisah Hidup Umar ibn Khattab. Jakarta : Zaman.
Sulami, Muhammad bin Ismail. 2004. Al Bidayah Wan Nihayah Masa Kholifah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau ibn Katsir. Jakarta : Darul Haq.
Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Pers.

Tarekat Syadziliyah di Tambakberas Jombang

oleh: Misbakhul Ilham
 Pada dasarnya kemunculan Tarekat Syadziliyah yang tepatnya di desa Tambakberas Kabupaten Jombang di bawah oleh seorang ulama kharismatik bernama KH. Djamaluddin Achmad, pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai al-Muhibbin Bahrul Ulum pada tahun 1973. Pada mulanya, KH. Djamaluddin tidak mempunyai niatan untuk mengajak masyarakat sekitar untuk masuk tarekat tesebut. Berawal dari ritual khusus (khususiyah) yang dilaksanakan di sebuah mushala di desa Tambak Rejo dibawah bimbingan Alm. KH. Sodiq, inilah yang menghantarkan KH. Djamaluddin mengikuti Baiat Alm. KH. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok “PETA”, Kauman Tulungagung, Jawa Timur. Dari ritual tersebut, lama kelamaan pengikutnya semakin meningkat dan berkembang pesat pengikutnya. Ini karena fleksibilitas tarekat ini dalam memaknai kehidupan modern[5].
 Secara kultur desa Tambakberas terdapat banyak pesantren yang para pengasuhnya tidak semua mengikuti pendidikan khusus yakni tarekat yang ada, namun ada beberapa kiai yang mengajarkan kajian tasawuf bahkan ikut dalam tarekat seperti halnya KH. Hasan dan KH. Djamaluddin. Hal ini karena Tambakberas sendiri ada dua pandanganmengenai tarekat: pertama, tarekat Informal (tidak terorganisir) seperti kiai yang mengajar, mendidik santri, mengaji, dll. Kedua, tarekat formal (terorganisir) seperti tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah, Syadziliyah, dan lain-lain[6].
 Dengan demikian, bahwa memang setiap aliran tarekat memiliki amalan-amalan dan ajaran yang khas sesuai dengan aturan-aturan dan tata cara yang ditetapkan di dalam tarekat tersebut. Secara sosiologis, tindakan dan perilaku suatu komunitas beragama cenderung didasarkan pada kepercayaan terhadap ajaran-ajaran yang diyakini kebenarannya, sehingga ajaran itu memiliki pengaruh cukup besar[7].
 Dari sini jelas seperti yang dikatakan oleh Piercy S. Cohen bahwa kepercayaan memiliki hubungan yang erat kaitannya dengan cara pandang perilaku penganutnya dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Kemudian Cohen mengidentifikasi istilah sistem integrasi dengan functional interdenpedence system, yakni tentang sistem integrasi yang merujuk kepada norma, nilai, peran, keyakinan, dan simbol. Termasuk resource dan rules yang merupakan karakteristik dari sistem sosial yang saling mempunyai keterkaitan[8].
 Demikian halnya dengan tarekat Syadziliyah, di samping memiliki ajaran khas, tarekat ini populer dengan ajarannya yang mudah dan ringan dalam dalam pengamalannya di bandingkan dengan tarekattarekat lain. Setiap ajaran dan amalan-amalannya, di yakini memiliki fungsi masing-masing oleh segenap penganutnya. Adapun ajaran-ajaran pokok tarekat Shdhiliyah ada lima[9], antara lain:
1.      Bertakwa kepada Allah secara lahir dan batin dalam pribadi sendiri maupun di khalayak umum. Konsekuensi-nya, berlaku wara’ (menjauh dari semua barang makruh, shubhat, dan haram).
2.      Mengikuti Sunnah Rasul dalam semua kata dan perbuatan. Konsekuensinya selalu waspada dan melakukan budi pekerti yang baik (luhur).
3.      Mengabaikan semua mahkluk dalam kesukaan atau kebencian mereka (tidak menghiraukan apakah mereka benci ataukah suka).Konsekuensinya, tidak menghiraukan makhluk dengan sabar dan tawakal.
4.      Ridha tentang hal sedikit atau banyak, ringan maupun berat. Konsekuensinya, ridha kepada Allah dengan qana‘ah (menerima dengan rela hati atas pemberian Allah meskipun sedikit dan tidak rakus), serta berserah diri kepada Allah.
5.      Kembali pada Allah dalam suka dan duka. Konsekuensinya, kembali kepada Allah dengan cara bersyukur dalam suka dan duka berlindung dalam duka[10].
Adapun amalan khususiyah (ritual) yang dilakukan pengikut Thoriqot ini adalah setiap malam jum’at di Musholla depan rumahnya, yang dipimpin langsung oleh KH. Djamaluddin. Di dalam ritual tersebut diisi dengan kegiatan zikir, tawassul, tahlil, dan tahmid yang dzikirnya mengutip dari kitab Dhurrotun Salikin. Dalam pandangannya, secara teknis ketika salik (pelaku Thoriqot) membaca zikir, hendaknya diikuti dengan cara menarik nafas yang terpusat di pusar menuju ke atas melalui rongga dada sampai keluar melalui mulut kemudian menariknya kembali ke lisan. Selain itu terdapat kajian kitab al-Hikam karya Ibn Atha Allah al-Sakandari yang dilaksanakan setiap hari Senin malam Selasa yang dibimbing langsung oleh KH. Djamaluddin. Tujuan dari pengajian ini adalah agar para pengikutnya dapat menggali potensi hati untuk selalu zikir kepada Allah baik secara teoritis maupun praktis. Juga ada pengajian kitab Dalail al-Khoirot setiap akhir bulan syawal dan ketika sudah khatam KH. Djamaluddin mengajak para jama’ahnya untuk ber-mushofahah, . Ada juga pengajian Ahad Legi. Kegiatan yang langsung diasuh oleh KH. Djamaluddin itu diikuti oleh ibu-ibu fatayat, ibu-ibu Muslimat, IPPNU, PKK, dan RW setempat dengan materi seperti halnya kajian tasawuf. Tujuannya untuk membangun wawasan tentang ilmu tasawuf. Dalam Thoriqot syadziliyah di Tambakberas ini, setiap tahunya KH. Djamaluddin mengajak para Jama’ahnya untuk berziarah ke makam para Wali dan para Ulama’, yang kemudian KH. Djamaluddin setelah ziaroh, beliau menulis Napak Tilas tentang para Wali atau Ulama’ yang telah ia Ziarahi.



[5] Hasil Wawancara pribadi Abdullah Safik dengan KH. Djamaluddin Achmad tanggal 26 Maret 2009.
[6] Hasil  Wawancara pribadi Abdullah Safik dengan KH. Idris Jamaluddin, putra KH. Djamaluddin, pengasuh Bumi Damai Muhibbin Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, tanggal 28 April 2009.
[7] Henry C. Tishler Thomas, Introduction to Sociology (Chicago: Halt Rien Hart and Wiston, 1990), h.380.
[8] Piercy S. Cohen, Modern Social Theeory (New York, The Free Press, 1967)h. 46.
[9] Taftazani, Sufi dari Zaman, h.292.
[10] hasil Wawancara pribadi Abdullah Safik dengan KH. Djamaluddin Achmad tanggal 20 April 2009.

Ajaran dan Amalan Tarekat Syadziliyah

oleh: Misbakhul lham
 Menurut H. Purwanto Bukhori[1], pokok-pokok dasar ajaran tarekat Syadziliyah adalah:
1.      Taqwa kepada Allah SWT lahir batin, yaitu secara konsisten (istiqomah), sabar, dan tabah dalam menjalankan segala perintah Allah SWT serta menjauhi semua larangan-laranganNya dengan berperilaku waro’ (berhati-hati terhadap semua yang haram, makruh, maupun syubhat), baik ketika sendiri maupun pada saat dihadapan orang lain.
2.      Mengikuti sunnah-sunnah Rasullulah SAW dalam ucapan dan perbuatan, yaitu dengan cara selalu berusaha sekuat-kuatnya untuk senantiasa berucap dan beramal seperti yang telah dicontohkan Rasullulah SAW, serta selalu waspada agar senantiasa menjalankan budi pekerti luhur(akhlaqul karimah).
Di sisi lain, menurut K. H. Aziz Masyhuri[2],  ajaran-ajaran dan amalan dalam tarekat Syadziliyah adalah sebagai berikut:
Pertama: Istighfar. Maksud dari istighfar adalah memohon ampun kepada Allah dari segala dosa yang telah dilakukan seseorang. Esensi istighfar adalah tobat dan kembali kepada Allah, kembali dari hal-hal yang tercela menuju hal-hal yang terpuji.
            Kedua: Shalawat. Nabi Membaca shalawat Nabi Muhammad SAW dimaksudkan untuk memohon rahmat dan karunia bagi Nabi SAW agar pembacanya juga mendapatkan balasan limpahan rahmat dari Allah SWT.
Ketiga: Dzikir. Dzikir adalah perintah Allah pertama kali yang diwahyukan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad, ketika ia menyepi (khalwat) di gua Hira’. Dzikir yang diamalakan ahli tarekat Syadziliyah adalah dzikir nafi itsbat yang berbunyi “la ilaha illa Allah”, dan diakhiri dengan mengucapkan “Sayyiduna Muhammad Rasulullah SAW”, dan diamalkan pula dzikir ism dzat yang dengan mengucap dzikir nafi itsbat yang dibunyikan secara perlahan dan dibaca panjang, dengan mengingat maknanya yaitu tiada dzat yang dituju kecuali hanyalah Allah, dibaca sebanyak tiga kali, dan diakhiri dengan mengucapkan “Sayyidina Muhammad rasulullah SAW”. Kemudian diteruskan dzikir nafi itsbat tersebut sebanyak seratus kali.
Keempat: Wasilah[3] dan Rabithah[4]. Dalam tradisi tarekat Syadziliyah, orang-orang yang dipandang paling dekat dengan Allah adalah Nabi Muhammad SAW, kemudian disusul para nabi lain, al-khulafa’ al-rasyidun, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan masyayikh atau para mursyid. Diantara bentuk-bentuk tawassul yang diajarkan dan biasa dilakukan pada tarekat Syadziliyah adalah membaca surat al-fatihah yang ditujukan kepada arwah suci (arwah al-muqaddasah) dari Nabi Muhammad saw sampai mursyid yang mengajar atau menalqin dzikir. Adapun rabithah yang dipraktekkan dalam tarekat Syadziliyah adalah dengan menyebut ism dzat, yaitu lafadz “Allah, Allah” dalam hati.
Kelima: Wirid[5], Adapun wirid yang dianjurkan adalah penggalan ayat al-Qur’a surat atTaubah/9: 128-129 dan wirid ayat Kursi yang dibaca minimal 11 kali setelah shalat fardlu. Dan wirid-wirid lain, yang antara murid yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda sesuai dengan kebijaksanaan mursyid.
Keenam: Adab. (etika murid) Adab murid dapat dikategorikan ke dalam empat hal, yaitu adab murid kepada Allah, adab murid kepada mursyidnya, adab murid kepada dirinya sendiri dan adab murid kepada ikhwan dan sesam muslim.
 Ketujuh: Hizib[6]. Hizib yang diajarkan tarekat Syadziliyah jumlahnya cukup banyak, dan setiap murid tidak menerima hizib yang sama, karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruhaniyah murid sendiri dan kebijaksanaan mursyid.
Adapun hizib-hizib tersebut antara lain hizib al-Asyfa’, hizib al-Aafi atau al-Autad, hizib al-Bahr, hizib al-Baladiyah, atau al-Birhatiyah, hizib al-Barr, hizib an-Nasr, hizib al-Mubarak, hizib as-Salamah, hizib an-Nur, dan hizib al-Kahfi. Hizib-hizib tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapat izin atau ijazah dari mursyid atau seorang murid yang ditunjuk mursyid untuk mengijazahkannya.
Kedelapan: Zuhud, Pada hakikatnya, zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Mengamalkan tarekat tidak harus meninggalkan kepentingan duniawi secara lahiriah.
 Keesembilan: Uzlah dan Suluk Uzlah adalah mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat atau khalayak ramai, untuk menghindarkan diri dari godaan-godaan yang dapat mengotori jiwa, seperti menggunjing, mengadu domba, bertengkar, dan memikirkan keduniaan. Dalam pandangan Syadziliyah, untuk mengamalkan thoriqot seorang murid tidak harus mengasingkan diri (uzlah) dan meninggalkan kehidupan duniawi (al-zuhud) secara membabi buta.
Suluk adalah suatu perjalanan menuju Tuhan yang dilakukan dengan berdiam diri di pondok atau zawiyah. Suluk di pondok pesulukan dalam tradisi tarekat Syadziliyah dipahami sebagai pelatihan diri (training centre) untuk membiasakan diri dan menguasai kata hatinya agar senantiasa mampu mengingat dan berdzikir kepada Allah, dalam keadaan bagaimana, kapan, dan dimanapun.
 Adapun amalan-amalan yang diajarkan tarekat Syadziliyah adalah membaca istighfar, membaca shalawat Nabi, membaca dzikir yang didahului dengan wasilah dan rabithah. Juga membaca hizib, antara lain hizib al-Asyfa’, al-Aafi atau al-Autad, al-Bahr, hizib al-Baladiyah, atau al-Birhatiyah, al-Barr,  hizib an-Nasr, hizib al-Mubarak, hizib as-Salamah, an-Nur, al-Falah, al-Lutf, al-Jalalah, ad-Dairah dan al-Kahfi[7].
 Dari beberapa uraian tentang ajaran-ajaran dan amalan dalam tarekat Syadziliyah, maka penulis menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran dan amalan dalam tarekat Syadziliyah itu adalah istighfar, shalawat Nabi, dzikir, wasilah dan rabithah, wirid, adab, hizib, zuhud, uzlah dan suluk.



[1] Purnawan Buchori, Manaqib Sang Quthub Agung, (Tulungagung, Jawa Timur: Pondok PETA, 2007), h.84-85.
[2] A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya: IMTIYAZ, 2011), h. 262-271.
[3] Wasilah atau tawassul artinya adalah segala sesuatu yang dengannya dapat mendekatkan pada yang lain. Dalam tarekat, wasilah adalah upaya yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau cara yang dilakukan agar pendekatan diri kepada Allah dapat segera berhasil.
[4] Rabithah adalah menghubungkan ruhaniyah seorang murid kepada guru atau mursyidnya.
[5] Wirid adalah suatu amalan yang harus dilaksanakan secara terus menerus (istiqamah) pada waktu-waktu tertentu, seperti setiap selesai mengerjakan shalat lima waktu, sepertiga malam yang akhir, pagi atau sore atau waktu-waktu tertentu lainnya
[6] Hizib adalah suatu doa yang cukup panjang, dengan lirik dan bahasa yang indah yang disusun seorang ulama besar.
[7] A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya: IMTIYAZ, 2011), h.26.

Perkembangan Tarekat Syadziliyah

oleh: Misbakhul Ilham
Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia[1], juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Thoriqot ini berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagai mana dicatat oleh Victor Danner, adalah bahwa meskipun Thoriqot ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah Maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, peranannya sejak abad ke-7 H/13 M sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan Shuayb al-Maghribi (w. 594H/ 1197 M), Ibn Arabi (w. 638H/ 1240 M). Abdul al-Salam ibn Mashish (w. 625H/ 1228M), Ibn Sab’in (w. 669H/ 1271M), dan al-Tusturi (w. 625H/ 1270M) itu berasal dari daerah Maghrib. Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghrib itu berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan Muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga mazhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat pengaturan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abbasîyah pada abad ke-2 H/ 8 M, dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atmosfir yang melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7H./13 M. yang mengembangkan kebebasan berfikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban, dan perekonomian.
Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Umar bin Ali al-Ansari al-Mursi, terlahir di Mercia, Spanyol pada 616 H/ 1219 M, dan meninggal pada 686 H/ 1287 M di Alexandria. Seperti gurunya, al-Mursi di samping mempunyai kualitas spiritual yang tinggi ia juga seorang humanis. Dia sangatlah konkern terhadap masalah sosial kemasyarakatan dan orang-orang miskin. Dia tidak membedakan di antara mereka, baik itu beragama Islam atau tidak. Diceritakan bahwa suatu ketika angin sangat kencang sehingga hampir setiap nelayan gagal menangkap ikan. Yaqut al-Habashi, murid al-Mursi memperoleh beberapa ikan hasil tangkapan. Ketika sang Yahudi berniat membelinya, Yaqut berkata, “Jangan, ikan ini untuk guru saya.” Kemudian ikan itu diserahkan kepada gurunya. Namun ketika al-Mursi mengetahui bahwa ada seorang Yahudi kelaparan yang membutuhkan ikan tersebut, dia menyuruh Yaqut untuk memberikannya (dengan cuma-cuma). Al-Mursi berkata, “Sesungguhnya dia (Yahudi) mempunyai anak dan istri yang sedang kelaparan, yang sangat membutuhkan ikan tersebut”[2].
Di antara murid-muridnya adalah al-Busiri (w. 694 H/1295 M), penyair Mesir yang berasal dari Berber, yang amat terkenal dengan dua syairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad, yakni Burdah (Syair Jubah) dan Hamziyah yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi. Murid yang lainnya adalah Shaykh Najm al-Din al-Isfahani (w. 721 H/1321 M), murid al-Mursi berkebangsaan Persia yang lama menetap di Makkah dan menyebarkan ajaran Syadziliyah kepada para jamaah haji. Ia adalah guru Shadhiliyah bagi al-Yafi’i (w. 78 H/1367 M), yang melalui tokoh ini, Tarekat Ni’matullahi yang beraliran Syi’ah mengadakan hubungan dengan Shadhiliyah. Termasuk murid al-Mursi adalah Syekh Ibn Atha Allah (w. 709 H/1309 M) guru ketiga dari rantai silsilah tarekat ini. Ia merupakan Syekh pertama yang menuliskan ajaran, pesan-pesan serta doa-doa al-Shadhili dan al-Mursi. Ia pula yang menyusun berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak ternilai untuk memahami tasawuf Shadhiliyah bagi angkatan sesudahnya[3].
 Syekh Ibn Atha Allah mewariskan sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi. Ia menulis beberapa buku antara lain yaitu: al-Hikam, sebuah rangkuman atas jalan sufi dalam elemennya yang abadi: al-Tanwir fî Isqat al-Tadbir, sebuah penjelasan akan kesalahan yang dapat ditemukan dalam sebuah pilihan bebas yang egosentris: Lataif al-Minan, sebuah biografi tentang dua guru pertama Tarekat Syadziliyah: al-Qisas al-Mujjarad fi Ma‘rifat al-Ism al-Mufrad, sebuah diskusi metafisika dan spiritual yang amat baik serta mengenai asma Allah dan nama-nama lain: Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, sebuah kompedium tentang zikir dalam pengertian luas; dan sejumlah karya yang tidak terlalu terkenal. Seluruh karyanya ini akhirnya mendominasi karya-karya al-Syadzili, sebab ialah Syekh pertama yang menorehkan pena demi kodifikasi ajaran-ajaran Tarekat Syadziliyah. Mengenai pengaruh al-Syadzili kepada Ibn Atha Allah, tampaknya dimungkinkan melalui dua cara, yaitu melalui al-Mursi dan hizib-hizib yang ditinggalkan al-Syadzili. Melalui dua cara inilah Ibn Atha Allah mewarisi ajaran spiritual al-Syadzili. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Atha Allah pada dasarnya adalah ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dalam uraian-uraian atau tulisan-tulisan Ibn Ath  Allah.
Pada abad ke-8 H/ 14 M di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyah, yang didirikan oleh Shams al-Din Muhammad bin Ahmad Waf (w. 760 H/1359 M) yang juga dikenal dengan Bahr al-Safa,  ayah dari tokoh terkenal Ali ibn Wafa (w. 807H/ 1404M). Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur Dekat di luar Mesir. Setelah abad ke-9 H/ 15 M mereka mengenakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya asli Syadziliyah yang tidak menonjolkan diri tidak diperhatikan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan. Mereka juga perlahan-lahan mulai terlibat dengan kehidupan institusional yang lebih kompleks dibandingkan dengan menghadapai generasi Syadziliyah awal.
 Di samping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu Hanafiyah, Jazuliyah, Nasiriyah, Isawiyah, Tihamiyah, Darqawiyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan mengadaptasikan kembali pesan-pesan murni tarekat Syadziliyah. Kemunculan mereka sering kali disebabkan oleh tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons khusus dalam hubungannya dengan para sufi. Dalam hal ini Victor Danner menguraikan sejumlah alasan yang mungkin di sekitar munculnya berbagai cabang tarekat Shadhiliyah. Ia mengambil contoh tarekat Jazuliyah, yang berasal dari seorang iman terkenal, al-Jazuli (w. 875 H/ 1470 M), salah seorang wali utama di Marakesh. Menurutnya, Jazuliyah tampaknya memunculkan diri sebagai pengenjawantahan dari ketaatan yang sangat kuat terhadap Nabi Muhammad. Hal ini seperti terlihat dalam lantunan shalawat Nabi ciptaannya yang dikenal luas dengan Dalail al-Khairat. 



[1] Hasan Muarif Ambari [et.al], Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.193.
[2] Ambari, Ensiklopedi, h. 209.
[3] Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Usmani (Bandung: Pustaka, 1997), 239-240.

Silsilah dalam tarekat Syadziliyah

oleh: Misbakhul Ilham
Syadziliyah adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya (Mu’tabarah), karena silsilah As-Syadzili adalah bersambung (muttasil) sampai Rasullulah SAW. Silsilahnya adalah Quthbul Muhaqqiqin Sultanul Auliya’ Syaikh Sayyid Abul Hasan As-Syadzili dari Syaikh Sayyid Abdus Salam Ibn Masyisy dari Quthbus Syarif Abdur Rahman Al-Hasan dari Quthbul Auliya’ Taqiyuddin Al-Faqair As-Sufi dari Syaikh Fakhruddin dari Syaikh Qutb Nuuddin Ali dari Syaikh Quthb Tajuddin Muhammad dari Syaikh Quthb Zainuddin Al-Qazwini dari Syaikh Quthb Ibrahim Al-Bashri dari Syaikh Quthb Ahmad Al-Marwani dari Syaikh Sa’id dari Syaikh Quthb Abu Muhammad Path Al-Sa’udi dari Syaikh Quthb Sa’id Al-Ghazwani dari Syaikh Quthb Abu Muhammad Jabir dari Awwalul Aqthab Sayyid As-Syarif Al-Hasan ibn Ali dari Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib dari Sayyidina Muhammad SAW[1].



[1] A. Aziz masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, (Surabaya: IMTIYAS, 2011),h.260-261.

Sejarah Thoriqot Syadziliyah

Oleh: Misbakhul Ilham
Nama pendirinya yaitu Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, yang dalam sejarah keturunannya dihubungkan orang dengan keturunan dari Hasan anak Ali bin Thalib, dan dengan demikian juga keturunan dari Siti Fatimah anak perempuan dari Nabi Muhammad saw. Ia lahir di Amman, salah satu desa kecil, di Afrika, dekat desa Mensiah, dimana hidup seorang wali sufi Abdul Abbas Al-Marsi, seorang yang tidak asing lagi namanya dalam dunia tasawuf, kedua desa itu terletak didaerah Maghribi. Syadzili lahir kira-kira dalam tahun 573 H. Orang yang pernah bertemu dengan dia menerangkan, bahwa Syadzili mempunyai perawakan badan yang menarik, bentuk muka yang menunjukkan keimanan dan keikhlasan, warna kulitnya yang sedang serta badannya agak panjang dengan bentuk mukanya yang agak memanjang pula, jari-jari langsing seakanakan jari-jari orang Hijaz. Menurut Ibn Sibagh bentuk badannya itu menunjukkan bentuk seorang yang penuh dengan rahasia-rahasia hidup. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Abul’Aza’im, ringan lidahnya, enak didengar ucapan-ucapannya, sehingga kalau ia berbicara, pembicaraannya itu mempunyai pengertian yang dalam[1].
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi abad ke tujuh Hiriyah yang menempuh jalur tasawuf searah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisisme, pelurusan jiwa dan pembinaan moral. Menurut al-Syadzili, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan (al-Syadzili) sehingga tidak ada larangan bagi seorang salik untuk menjadi konglomerat, asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang dimilikinya. Sejalan dengan itu pula, bahwa seorang salik tidak harus memakai baju lusuh yang tidak berharga, yang akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Walaupun al-Syadzili sebagai mursyid (guru tarekat) tarekat, diceritakan bahwa beliau adalah orang yang kaya raya secara aterial, tetapi tidak terbesit sedikitpun keinginan didalam hatinya terhadap harta dunia[2].
Syadzili termasuk salah seorang sufi yang luar biasa, seorang tokoh sufi terbesar, yang dipuja dan dipuji di antaranya oleh wali-wali kebatinan dalam kitab-kitabnya, baik karena kepribadiannya maupun karena fikiran dan ajaranajarannya. Hampir tidak ada kitab tasawuf yang tidak menyebutkan namanya dan mempergunakan ucapan-ucapan yang penuh dengan rahasia dan hikmah untuk mengutarakan sesuatu uraian atau pendirian. Tarekat Syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner dalam Sri Mulyati, bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah Maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit[3]. Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu alAbbas al-Mursi yang ditunjuk langsung olehal-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Ali al-Anshari al-Mursi, terlahir di Murcia, spanyol pada 616H-1219M, dan meninggal pada 686H/1287M di Alexandria. Di kota kelahirannya itu, juga lahir sufi dan ulama terkenal Ibn al-‘Arabi dan Ibn Sab’in yang terakhir ini dilahirkan hanya beberapa tahun sebelum al-Mursi. AlMursi termasuk murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan ikhwan-ikhwan yang lainnya.



[1] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Jakarta: CV. Ramadhani, 1986),h. 305.
[2] M. saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliah Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial, (Yogyakarta: teras, 2011), h.6.
[3] Sri mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Mu’tabarah Di Indonesia, (Jakarta: prenada media, 2004),h.65.

Pengertian Tasawwuf Dan Pembagianya

oleh: Misbakhul Ilham

            Berdasarkan banyaknya problematika dalam kehidupan modern dan peran tasawwuf dalam menanggulanginya, disini akan dipaparkan secara jelas mengenai  tasawwuf serta pembagian-pembagianya.
A.    Pengertian Tasawwuf
Kata Tasawwuf secara etimologis berasal dari bahasa arab, تصوف يتصوف تصوفا. Ulama’ berbeda pendapat dari mana asal usulnya. Ada yang mengatakan dari kata “shuf” (bulu domba), “shaf” (barisan), “shafa” (jernih), dan dari kata “Shuffah” (emper masjid nabawi yang ditempati oleh sebagian Sahabat Nabi Saw[1]. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari “Shuf” yaitu dari bahasa Arab untuk wol yang merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Ada juga yang mengatakan dari kata “shafa”. yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme padakemurnian hati dan jiwa. Karena itulah Tasawwuf juga disebut sebagai  ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Kata tasawwuf  juga  berasal dari “Ashab al-Suffa” (“Sahabat Beranda”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang orang beranda”), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabawi di Madinah, yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal, karena di serambi masjid itulah tempat mereka bernaung.
Sedangkan menurut terminologis, tasawwuf diartikan secara variatif oleh para ahli sufi, antara lain yaitu:
Menurut Imam Junaid dari Baghdad (m. 910) mendefinisikan tasawwuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”. Sedangkan menurut Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili (m.1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawwuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”. Juga menurut pendapat Syeikh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawwuf sebagai “ilmu yang dengannya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam, agar kebijaksanaan menjadi nyata”[2].
Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawwuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah), untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seorang hanya tertuju kepada-Nya. Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawwuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia.
B.     Pembagian Tasawwuf
Tasawwuf adalah suatu  bidang ilmu keislaman dengan berbagai pembagian di dalamnya, yaitu tasawwuf akhlaki, tasawwuf amali, dan tasawwuf falsafi. Tasawwuf akhlaki berupa ajaran mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Ajaran yang terdapat dalam tasawwuf ini meliputi takhalli, yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela dan tahalli yaitu menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap perbuatan terpuji kemudian tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi, seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli dilaluinya[3].
Tasawwuf amali berupa tuntunan praktis tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Tasawwuf amali ini identik dengan thoriqot, sehingga bagi mereka yang masuk tarekat akan memperoleh bimbingan semacam itu. Sementara tasawwuf falsafi berupa kajian tasawwuf yang dilakukan secara mendalam dengan tinjauan filosofis dengan segala aspek yang terkait di dalamnya. Dari ketiga bagian tasawwuf tersebut, secara esensial semua bermuara pada penghayatan terhadap ibadah murni (mahdlah) untuk mewujudkan akhlak al-karimah baik secara individual maupun sosial.
Dalam hal pembagian tasawwuf, penulis akan memfokuskan pada bahasan tasawwuf amali, dimana tasawwuf tersebut lebih cenderung ke ajaran thoriqot. Ajaran thoriqot menurut sejarah terdapat pada masa perkembangan tasawwuf, yaitu pada abad IV Hijriah atau XII Masehi. Waktu itu thoriqot berkembang pada musim hujan, yang sebenarnya para pencetusnya tidak berniat menjadikannya sebagai sebuah “ajaran” tertentu, namun para pengikutnya yang mengupayakan menjadi sebuah ajaran atau aliran.
Thoriqot berasal dari bahasa arab Thariqah yang berarti metode mendekatkan diri kepada Allah. Istilah ini sering dipertentangkan dengan Syari’ah yang merupakan dimensi luar (dlahir) sebagaimana Thoriqot berdimensi bathin. Sebenarnya kedua istilah tersebut berarti jalan, hanya jika thoriqot berarti jalan kecil, syari’ah berarti jalan besar. Dua jalan itu harus dilalui secara baik dengan mengamalkan keduanya secara seimbang agar ibadah kepada Allah dilakukan secara lahir dan dihayati secara bathiniah[4].
Dalam thoriqot sekurang-kurangnya ada empat hal yang patut dicatat, yaitu mursyid, baiat, silsilah, murid dan ajaran. Mursyid adalah seorang yang telah mencapai Rijal al-Kamal dan telah Mukasyafah (wali yang sempurna dan telah terbukanya tabir penyekat antara dia dengan Tuhan, yang bertugas membimbing muridnya sesuai dengan tingkatan (maqamat) nya masing-masing[5].
Sedangkan baiat dalam bahasa thoriqot merupakan janji setia yang biasanya diucapkan oleh calon salik dihadapan mursyid untuk menjalankan segala persuratan yang ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syari’at Islam.
Ajaran atau dzikir dalam sebuah thoriqot adalah termasuk bagian terpenting dalam thoriqot yang hampir selalu dikerjakan dalam amalanya. Dzikir artinya mengingat Tuhan. Akan tetapi dalam mengingat kepada Tuhan, dalam thoriqot dibantu dengan berbagai macam ucapan, yang menyebut nama Allah atau sifat-sifatnya. Ahli thoriqot berkeyakinan, jika seorang hamba telah yakin, jika lahir bathinya dilihat Allah dan segala perbuatan diawasi Allah, dan ucapanya didengar Allah, segala niat dan cita-cita diketahui Allah, maka hamba itu akan menjadi seorang yang benar, karena ia selalu ada dalam keadaan memperhambakan dirinya kepada Allah[6].
Dalam uraian tentang thoriqot di atas, banyak yang perlu kita ketahui bahwa ajaran thoriqot yang dapat diterima masuk ke Indonesia adalah thoriqot-thoriqot yang sifatnya mu’tabarah, yaitu thoriqot-thoriqot yang sumbernya berasal dari Abu Bakar As-Syiddiq ra atau berasal dari Ali bin Abi Thalib rad an memiliki metode dzikir diantaranya ada yang dzikirnya bersifat rahasia atau khafi, juga ada dzikir yang bersifat keras atau jahr, dan juga ada penggabungan sifat keras dan rahasia


[1] Syukur, Tasawwuf, h.53.
[2]Sarjanaku, “pengertian tasawwuf secara etimologi”, http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawwuf-secara-etimologi-dan.html?m=1, diakses pada tanggal 4 desember 2015.
[3] Amin Syukur, Tasawwuf Kontekstual,(Yogyakarta: Pusaka pelajar, 2003),h.2.
[4] Syukur, Tasawwuf Kontekstual, h.10.
[5] Syukur, Tasawwuf Kontekstual, h.11.
[6] Muflikhin, Akhlak, h.4.