Selasa, 19 Januari 2016

Tarekat Syadziliyah di Tambakberas Jombang

oleh: Misbakhul Ilham
 Pada dasarnya kemunculan Tarekat Syadziliyah yang tepatnya di desa Tambakberas Kabupaten Jombang di bawah oleh seorang ulama kharismatik bernama KH. Djamaluddin Achmad, pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai al-Muhibbin Bahrul Ulum pada tahun 1973. Pada mulanya, KH. Djamaluddin tidak mempunyai niatan untuk mengajak masyarakat sekitar untuk masuk tarekat tesebut. Berawal dari ritual khusus (khususiyah) yang dilaksanakan di sebuah mushala di desa Tambak Rejo dibawah bimbingan Alm. KH. Sodiq, inilah yang menghantarkan KH. Djamaluddin mengikuti Baiat Alm. KH. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok “PETA”, Kauman Tulungagung, Jawa Timur. Dari ritual tersebut, lama kelamaan pengikutnya semakin meningkat dan berkembang pesat pengikutnya. Ini karena fleksibilitas tarekat ini dalam memaknai kehidupan modern[5].
 Secara kultur desa Tambakberas terdapat banyak pesantren yang para pengasuhnya tidak semua mengikuti pendidikan khusus yakni tarekat yang ada, namun ada beberapa kiai yang mengajarkan kajian tasawuf bahkan ikut dalam tarekat seperti halnya KH. Hasan dan KH. Djamaluddin. Hal ini karena Tambakberas sendiri ada dua pandanganmengenai tarekat: pertama, tarekat Informal (tidak terorganisir) seperti kiai yang mengajar, mendidik santri, mengaji, dll. Kedua, tarekat formal (terorganisir) seperti tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah, Syadziliyah, dan lain-lain[6].
 Dengan demikian, bahwa memang setiap aliran tarekat memiliki amalan-amalan dan ajaran yang khas sesuai dengan aturan-aturan dan tata cara yang ditetapkan di dalam tarekat tersebut. Secara sosiologis, tindakan dan perilaku suatu komunitas beragama cenderung didasarkan pada kepercayaan terhadap ajaran-ajaran yang diyakini kebenarannya, sehingga ajaran itu memiliki pengaruh cukup besar[7].
 Dari sini jelas seperti yang dikatakan oleh Piercy S. Cohen bahwa kepercayaan memiliki hubungan yang erat kaitannya dengan cara pandang perilaku penganutnya dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Kemudian Cohen mengidentifikasi istilah sistem integrasi dengan functional interdenpedence system, yakni tentang sistem integrasi yang merujuk kepada norma, nilai, peran, keyakinan, dan simbol. Termasuk resource dan rules yang merupakan karakteristik dari sistem sosial yang saling mempunyai keterkaitan[8].
 Demikian halnya dengan tarekat Syadziliyah, di samping memiliki ajaran khas, tarekat ini populer dengan ajarannya yang mudah dan ringan dalam dalam pengamalannya di bandingkan dengan tarekattarekat lain. Setiap ajaran dan amalan-amalannya, di yakini memiliki fungsi masing-masing oleh segenap penganutnya. Adapun ajaran-ajaran pokok tarekat Shdhiliyah ada lima[9], antara lain:
1.      Bertakwa kepada Allah secara lahir dan batin dalam pribadi sendiri maupun di khalayak umum. Konsekuensi-nya, berlaku wara’ (menjauh dari semua barang makruh, shubhat, dan haram).
2.      Mengikuti Sunnah Rasul dalam semua kata dan perbuatan. Konsekuensinya selalu waspada dan melakukan budi pekerti yang baik (luhur).
3.      Mengabaikan semua mahkluk dalam kesukaan atau kebencian mereka (tidak menghiraukan apakah mereka benci ataukah suka).Konsekuensinya, tidak menghiraukan makhluk dengan sabar dan tawakal.
4.      Ridha tentang hal sedikit atau banyak, ringan maupun berat. Konsekuensinya, ridha kepada Allah dengan qana‘ah (menerima dengan rela hati atas pemberian Allah meskipun sedikit dan tidak rakus), serta berserah diri kepada Allah.
5.      Kembali pada Allah dalam suka dan duka. Konsekuensinya, kembali kepada Allah dengan cara bersyukur dalam suka dan duka berlindung dalam duka[10].
Adapun amalan khususiyah (ritual) yang dilakukan pengikut Thoriqot ini adalah setiap malam jum’at di Musholla depan rumahnya, yang dipimpin langsung oleh KH. Djamaluddin. Di dalam ritual tersebut diisi dengan kegiatan zikir, tawassul, tahlil, dan tahmid yang dzikirnya mengutip dari kitab Dhurrotun Salikin. Dalam pandangannya, secara teknis ketika salik (pelaku Thoriqot) membaca zikir, hendaknya diikuti dengan cara menarik nafas yang terpusat di pusar menuju ke atas melalui rongga dada sampai keluar melalui mulut kemudian menariknya kembali ke lisan. Selain itu terdapat kajian kitab al-Hikam karya Ibn Atha Allah al-Sakandari yang dilaksanakan setiap hari Senin malam Selasa yang dibimbing langsung oleh KH. Djamaluddin. Tujuan dari pengajian ini adalah agar para pengikutnya dapat menggali potensi hati untuk selalu zikir kepada Allah baik secara teoritis maupun praktis. Juga ada pengajian kitab Dalail al-Khoirot setiap akhir bulan syawal dan ketika sudah khatam KH. Djamaluddin mengajak para jama’ahnya untuk ber-mushofahah, . Ada juga pengajian Ahad Legi. Kegiatan yang langsung diasuh oleh KH. Djamaluddin itu diikuti oleh ibu-ibu fatayat, ibu-ibu Muslimat, IPPNU, PKK, dan RW setempat dengan materi seperti halnya kajian tasawuf. Tujuannya untuk membangun wawasan tentang ilmu tasawuf. Dalam Thoriqot syadziliyah di Tambakberas ini, setiap tahunya KH. Djamaluddin mengajak para Jama’ahnya untuk berziarah ke makam para Wali dan para Ulama’, yang kemudian KH. Djamaluddin setelah ziaroh, beliau menulis Napak Tilas tentang para Wali atau Ulama’ yang telah ia Ziarahi.



[5] Hasil Wawancara pribadi Abdullah Safik dengan KH. Djamaluddin Achmad tanggal 26 Maret 2009.
[6] Hasil  Wawancara pribadi Abdullah Safik dengan KH. Idris Jamaluddin, putra KH. Djamaluddin, pengasuh Bumi Damai Muhibbin Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, tanggal 28 April 2009.
[7] Henry C. Tishler Thomas, Introduction to Sociology (Chicago: Halt Rien Hart and Wiston, 1990), h.380.
[8] Piercy S. Cohen, Modern Social Theeory (New York, The Free Press, 1967)h. 46.
[9] Taftazani, Sufi dari Zaman, h.292.
[10] hasil Wawancara pribadi Abdullah Safik dengan KH. Djamaluddin Achmad tanggal 20 April 2009.

1 komentar:

  1. Setuju... memang jalang menuju Allâh Swt sangat beragam , termasuk thoriqoh yg formal itupun ada beberapa macam... krn itu bagi yg ingin ikut thoriqoh formal tsb di anjurkan untuk ( lebih baik ) mohon petunjuk kpd Allâh melalui sholat istikhoroh dulu

    BalasHapus