oleh: Misbakhul Ilham
Pada dasarnya kemunculan Tarekat Syadziliyah
yang tepatnya di desa Tambakberas Kabupaten Jombang di bawah oleh seorang ulama
kharismatik bernama KH. Djamaluddin Achmad, pengasuh Pondok Pesantren Bumi
Damai al-Muhibbin Bahrul Ulum pada tahun 1973. Pada mulanya, KH. Djamaluddin
tidak mempunyai niatan untuk mengajak masyarakat sekitar untuk masuk tarekat
tesebut. Berawal dari ritual khusus (khususiyah) yang dilaksanakan di sebuah
mushala di desa Tambak Rejo dibawah bimbingan Alm. KH. Sodiq, inilah yang
menghantarkan KH. Djamaluddin mengikuti Baiat Alm. KH. Abdul Jalil Mustaqim,
pengasuh Pondok “PETA”, Kauman Tulungagung, Jawa Timur. Dari ritual tersebut, lama
kelamaan pengikutnya semakin meningkat dan berkembang pesat pengikutnya. Ini
karena fleksibilitas tarekat ini dalam memaknai kehidupan modern[5].
Secara kultur desa Tambakberas terdapat banyak
pesantren yang para pengasuhnya tidak semua mengikuti pendidikan khusus yakni
tarekat yang ada, namun ada beberapa kiai yang mengajarkan kajian tasawuf
bahkan ikut dalam tarekat seperti halnya KH. Hasan dan KH. Djamaluddin. Hal ini
karena Tambakberas sendiri ada dua pandanganmengenai tarekat: pertama, tarekat
Informal (tidak terorganisir) seperti kiai yang mengajar, mendidik santri,
mengaji, dll. Kedua, tarekat formal (terorganisir) seperti tarekat Qadiriyah wa
Naqshabandiyah, Syadziliyah, dan lain-lain[6].
Dengan demikian, bahwa memang setiap aliran
tarekat memiliki amalan-amalan dan ajaran yang khas sesuai dengan aturan-aturan
dan tata cara yang ditetapkan di dalam tarekat tersebut. Secara sosiologis,
tindakan dan perilaku suatu komunitas beragama cenderung didasarkan pada
kepercayaan terhadap ajaran-ajaran yang diyakini kebenarannya, sehingga ajaran
itu memiliki pengaruh cukup besar[7].
Dari sini jelas seperti yang dikatakan oleh
Piercy S. Cohen bahwa kepercayaan memiliki hubungan yang erat kaitannya dengan
cara pandang perilaku penganutnya dalam menjalani aktivitas kehidupannya.
Kemudian Cohen mengidentifikasi istilah sistem integrasi dengan functional
interdenpedence system, yakni tentang sistem integrasi yang merujuk kepada
norma, nilai, peran, keyakinan, dan simbol. Termasuk resource dan rules yang
merupakan karakteristik dari sistem sosial yang saling mempunyai keterkaitan[8].
Demikian halnya dengan tarekat Syadziliyah, di
samping memiliki ajaran khas, tarekat ini populer dengan ajarannya yang mudah
dan ringan dalam dalam pengamalannya di bandingkan dengan tarekattarekat lain.
Setiap ajaran dan amalan-amalannya, di yakini memiliki fungsi masing-masing
oleh segenap penganutnya. Adapun ajaran-ajaran pokok tarekat Shdhiliyah ada
lima[9],
antara lain:
1. Bertakwa
kepada Allah secara lahir dan batin dalam pribadi sendiri maupun di khalayak
umum. Konsekuensi-nya, berlaku wara’ (menjauh dari semua barang makruh, shubhat,
dan haram).
2. Mengikuti
Sunnah Rasul dalam semua kata dan perbuatan. Konsekuensinya selalu waspada dan
melakukan budi pekerti yang baik (luhur).
3. Mengabaikan
semua mahkluk dalam kesukaan atau kebencian mereka (tidak menghiraukan apakah
mereka benci ataukah suka).Konsekuensinya, tidak menghiraukan makhluk dengan
sabar dan tawakal.
4. Ridha
tentang hal sedikit atau banyak, ringan maupun berat. Konsekuensinya, ridha
kepada Allah dengan qana‘ah (menerima dengan rela hati atas pemberian Allah
meskipun sedikit dan tidak rakus), serta berserah diri kepada Allah.
5. Kembali
pada Allah dalam suka dan duka. Konsekuensinya, kembali kepada Allah dengan
cara bersyukur dalam suka dan duka berlindung dalam duka[10].
Adapun
amalan khususiyah (ritual) yang dilakukan pengikut Thoriqot ini adalah setiap
malam jum’at di Musholla depan rumahnya, yang dipimpin langsung oleh KH.
Djamaluddin. Di dalam ritual tersebut diisi dengan kegiatan zikir, tawassul,
tahlil, dan tahmid yang dzikirnya mengutip dari kitab Dhurrotun Salikin.
Dalam pandangannya, secara teknis ketika salik (pelaku Thoriqot) membaca
zikir, hendaknya diikuti dengan cara menarik nafas yang terpusat di pusar
menuju ke atas melalui rongga dada sampai keluar melalui mulut kemudian
menariknya kembali ke lisan. Selain itu terdapat kajian kitab al-Hikam karya
Ibn Atha Allah al-Sakandari yang dilaksanakan setiap hari Senin malam Selasa yang
dibimbing langsung oleh KH. Djamaluddin. Tujuan dari pengajian ini adalah agar
para pengikutnya dapat menggali potensi hati untuk selalu zikir kepada Allah
baik secara teoritis maupun praktis. Juga ada pengajian kitab Dalail al-Khoirot
setiap akhir bulan syawal dan ketika sudah khatam KH. Djamaluddin mengajak para
jama’ahnya untuk ber-mushofahah, . Ada juga pengajian Ahad Legi. Kegiatan
yang langsung diasuh oleh KH. Djamaluddin itu diikuti oleh ibu-ibu fatayat,
ibu-ibu Muslimat, IPPNU, PKK, dan RW setempat dengan materi seperti halnya
kajian tasawuf. Tujuannya untuk membangun wawasan tentang ilmu tasawuf. Dalam
Thoriqot syadziliyah di Tambakberas ini, setiap tahunya KH. Djamaluddin
mengajak para Jama’ahnya untuk berziarah ke makam para Wali dan para Ulama’,
yang kemudian KH. Djamaluddin setelah ziaroh, beliau menulis Napak Tilas
tentang para Wali atau Ulama’ yang telah ia Ziarahi.
[6]
Hasil Wawancara pribadi Abdullah Safik dengan KH.
Idris Jamaluddin, putra KH. Djamaluddin, pengasuh Bumi Damai Muhibbin Bahrul
Ulum Tambak Beras Jombang, tanggal 28 April 2009.
[7]
Henry C. Tishler Thomas, Introduction to Sociology (Chicago: Halt Rien
Hart and Wiston, 1990), h.380.
[8]
Piercy S. Cohen, Modern Social Theeory (New York, The Free Press,
1967)h. 46.
[9]
Taftazani, Sufi dari Zaman, h.292.
Setuju... memang jalang menuju Allâh Swt sangat beragam , termasuk thoriqoh yg formal itupun ada beberapa macam... krn itu bagi yg ingin ikut thoriqoh formal tsb di anjurkan untuk ( lebih baik ) mohon petunjuk kpd Allâh melalui sholat istikhoroh dulu
BalasHapus