Rabu, 03 Agustus 2016

artikel pluralisme




METODE ‘URF MENJADI PEMAHAMAN KRITIS AGAMA
DALAM PLURALISME BANGSA
NAMA: MISBAKHUL ILHAM
ABSTRAK
Misbakhul Ilham, 15210005, Metode ‘Urf Menjadi Pemahaman Kritis Agama Dalam Pluralisme Bangsa, Artikel, Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Dosen Pengampu: Nurul Jannah
Kata Kunci: Pluralisme, Urf’,  Hukum Islam
            Kondisi praktek paham pluralisme di era globalisasi ini sangatlah mencengkam. Banyak diantara pemuda, anak-anak maupun orang tua yang tidak menyadari apa yang telah mereka perbuat. Salah satunya dari kalangan muslim yang mengikuti budaya-budaya kristiani, seperti ikut serta dalam merayakan hari natal dan tahun baru. Hal tersebut telah menjadi suatu kebiasaan bagi kalangan muslim dalam merayakan hari besar orang kristiani. Mengenai hal tersebut banyak para Ulama mengatakan hal tersebut tidak diperbolehkan dan ada yang mengatakan diperbolehkan berdasarkan argumen yang mereka miliki. Metode Urf’ adalah salah satu metode dalam menangani kasus tersebut. Dalam hukum Islam, metode ini terdapat berbagai macam cara menangani masalah Pluralisme dalam problematika masyarakat beragama.
            Dalam artikel ini, terdapat rumusan masalah yaitu: 1) bagaimana pengertian Urf? 2) Bagaimana kondisi pluralisme agama pada saat ini? 3) Bagaimana pandangan hukum Islam menggunakan metode Urf’?. Artikel ini memiliki tujuan agar bangsa indonesia dari kalangan muslim memiliki paham yang normatif dalam menerapkan ajaran Agama Islam. Mengetahui akibat-akibat dari pluralisme yang terlalu berlebihan. Bisa menerapkan paham pluralisme dalam konteks Islam.
Pluralisme ditinjau dari makna katanya berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang.[1] Sementara secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan, atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.[2]
Sedangkan 'Urf atau adat ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Para fuqoha mendefinisikan Urf’ secara terminologi sebagai norma yang sudah melekat dalam hati akibat berulang-ulangnya, sehinga diterima sebagai sebuah realitas yang rasional dan layak menurut penilaian akal sehat, norma tersebut bisa dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat.[3]
Dalam Bangsa Indonesia telah menjadi suatu kebiasaan seorang Mukmin menyalahi aturan Agamanya sendiri, yaitu kebiasaan dalam pluralisme yang berlebihan. Kebiasaan tersebut adalah sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, gejala ini telah menyertai kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat Pluralistis. Namun seperti yang telah kita ketahui, setiap hari Natal atau Tahun Baru Masehi, banyak dari Masyarakat Muslim yang ikut serta dalam acara mereka, bahkan tidak jarang juga beberapa orang Muslim disana mengikuti tradisi-tradisi mereka, mulai dari perayaan Natal, sampai perayaan tahun baru masehi. Padahal pada hakikatnya Natal termasuk hari raya orang Kristen seperti hal nya hari raya idul fitri, dan idul adha adalah hari raya bagi kaum Muslim. Sedangkan perayaan tahun baru Masehi merupakan tahun baru kaumnya nabi isa yang dihitung sejak kenaikan al-Masih, maka orang-orang Islam yang menyerupai mereka termasuk golongan dari mereka sebagai mana yang terdapat dalam sebuah hadis
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk sebagian dari mereka”[4]
Dengan demikian apakah perbuatan orang muslim tersebut menyalahi aturan Agama? Bilamana terdapat sebagian orang Muslim yang menirukan tradisi orang Kristen. Kemudian apakah pluralisme seperti itu dibenarkan oleh Agama, Sekarang, pembahasan realitas antar Agama hendaknya harus diranjut kembali. Ideologi dan perspektif terhadap Pluralisme Agama, perlu penataan ulang dalam dimensi pikir, dari ideologi bahwa Pluralisme Agama menjadi sumber solusi pemicu perpecahan sosial. Kemudian bagaimana jika perbuatan tersebut merupakan adat yang dilakukan sejak zaman dahulu dalam masyarakat itu? Dan tidak ada kita ketahui dalam masyarakat Muslim Indonesia tidak sedikit  yang mengikuti tradisi orang Kristen. Apakah hal tersebut dibenarkan oleh Agama?
Dalam ulasan Nadhom Qawaid Fiqhiyyah Al Faraid Al Bahiyyah diterangkan mengenai adat atau ‘Urf dalam Islam. Dalam bukunya dijelaskan tentang bagaimana jika suatu adat bertentangan dengan Syara’, jika syara’nya tidak berhubungan dengan hukum, maka adat yang lebih diutamakan. Tetapi jika Syara’ berhubungan dengan hukum, maka Syara’ yang diutamakan.[5] Dengan demikian ikut serta dalam perayaan hari Natal dan tahun baru Masehi apakah termasuk sebuah ibadah yang memiliki beban hukum menurut mereka? tidak, karena suatu ibadah adalah jika mereka menyembah tuhan mereka. Mereka hanya berpesta ria karena mereka telah bertemu dengan hari besar mereka. Dengan demikian perayaan Natal dan Tahun Baru jika terdapat orang muslim yang ikut merayakannya, jika hati mereka tidak meyakini adanya tuhan mereka, dan tidak ikut dalam urusan ibadah mereka, maka diperbolehkan, karena tidak mengandung sebuah hukum, dan adat lebih diutamakan. Adat bisa dijadikan sebagai hukum karena العادة محكمة adat bisa dijadikan landasan hukum, dan kebanyakan dari masyarakat Indonesia memahami bahwa kebiasaan seperti itu diperbolehkan. Maka hukumnya diperbolehkan.
Tetapi jika dari golongan umat muslim hanya mengatakan selamat kepada orang non muslim, dalam perayaan hari tersebut. Maka hal tersebut diperbolehkan, karena sifat tersebut termasuk dalam sifat toleransi antar agama, dengan tanda kutip yang tidak berlebih-lebihan, hanya sekedar mengucapkan selamat. Pada dasarnya toleransi merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer adalah ajaran yang benar itu. Maka sebagai yang primer, toleransi harus kita laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu, bisa jadi untuk diri kita sendiri, pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”.[6]
Untuk memperkuat hal tersebut dalam Kajian kaidah-Kaidah Fiqh terdapat beberapa cara dalam menyelesaikan hal tersebut, diantaranya hukum adat tersebut, dalam kitab Qawaidul Fiqh terdapat sebuah nadzam:
مَبْحَثُ العَادَةُ هَلْ تُنَزَّلُ * مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ حِلاَفٌ يُنْقَلُ
وَغَالِبُ التَّرْجِيْحِ فِي الفُرُوعِ لاَ * يَكُوْنُ كالشَّرْطَ كَمَا تَأَصّلاَ
Maksud dari Nadzam tersebut adalah adat yang berlaku di suatu daerah, apakah disamakan dengan perjanjian (syarat-syarat)?, menurut pendapat yang paling benar adalah tidak.[7]
Dengan demikian maka dapat disimpulkan, jika suatu adat di suatu kaum tersebut memang tidak ada perjanjian terlebih dahulu sebelumnya, maka adat tersebut tidak bisa disamakan dengan perjanjian. Begitu juga jika para kaum tersebut telah menganggap bahwa Perayaan Natal dan Tahun Baru memang sudah menjadi kebiasaan tersendiri, dan mereka menganggap bahwa adat tersebut memang sudah mendarah daging bagi kaum tersebut baik Muslim maupun Non Muslim, maka diperbolehkan, dengan syarat hati mereka tidak meyakini Tuhannya Non Muslim, dan tidak mengikuti mereka dalam Ibadahnya, tetapi karena saling menghargai dan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Maka kebiasaan tersebut diperbolehkan.

DAFTAR PUSTAKA
Asyat, Abi Dawud Sulaiman bin. Sunan Abi Dawud. Beirut: Darr al-Risalah al-alamiyah. 2009.  jilid 6.
Ishomuddin. pengantar sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Majid, Nurcholis. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: TEKAD. 2002.
Manshur, Yahya Khusnan. Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-bahiyyah.  Jombang: Pustaka al-muhibbin. 2011.
Naim, Ngainum. Islam dan Pluralisme Agama. Yogyakarta: Aura Pustaka. 2015.





[1] Ishomuddin, pengantar sosiologi Agama (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h.59.
[2] Ngainum Naim , Islam dan Pluralisme Agama, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2015), h. 6-7.
[3] Yahya Khusnan Manshur, Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-bahiyyah, (jombang: Pustaka al-muhibbin, 2011), h. 91.
[4] Abi Dawud Sulaiman bin Asyat, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Darr al-Risalah al-alamiyah, 2009), jilid 6, no, 4031, h. 130
[5] Manshur, Ulasan Nadhom, h. 94-95.
[6] Nurcholis Majid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (jakarta: TEKAD, 2002), h. 17.
[7] Manshur, Ulasan Nadhom, h.98.