METODE
‘URF MENJADI PEMAHAMAN KRITIS AGAMA
NAMA:
MISBAKHUL ILHAM
EMAIL:
misbakhulilham2@gmail.com
ABSTRAK
Misbakhul
Ilham, 15210005, Metode ‘Urf Menjadi Pemahaman Kritis Agama Dalam Pluralisme
Bangsa, Artikel, Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Dosen Pengampu: Nurul Jannah
Kata
Kunci: Pluralisme, Urf’, Hukum
Islam
Kondisi praktek paham pluralisme di era globalisasi ini sangatlah
mencengkam. Banyak diantara pemuda, anak-anak maupun orang tua yang tidak
menyadari apa yang telah mereka perbuat. Salah satunya dari kalangan muslim yang
mengikuti budaya-budaya kristiani,
seperti ikut serta dalam merayakan hari natal dan tahun baru. Hal tersebut telah menjadi suatu
kebiasaan bagi kalangan muslim dalam merayakan hari besar orang kristiani. Mengenai
hal tersebut banyak para Ulama mengatakan hal tersebut tidak diperbolehkan dan
ada yang mengatakan diperbolehkan berdasarkan
argumen yang mereka miliki. Metode Urf’ adalah salah satu metode dalam menangani
kasus tersebut. Dalam hukum Islam, metode ini terdapat berbagai macam cara
menangani masalah Pluralisme dalam problematika masyarakat beragama.
Dalam artikel
ini, terdapat rumusan masalah yaitu: 1) bagaimana pengertian Urf? 2) Bagaimana
kondisi pluralisme agama pada saat ini? 3) Bagaimana pandangan hukum Islam
menggunakan metode Urf’?. Artikel ini memiliki tujuan agar bangsa indonesia
dari kalangan muslim memiliki paham yang normatif dalam menerapkan ajaran Agama
Islam. Mengetahui akibat-akibat dari pluralisme yang terlalu berlebihan. Bisa
menerapkan paham pluralisme dalam konteks Islam.
Pluralisme ditinjau dari makna katanya berasal
dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang.[1]
Sementara secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang
bersifat plural, jamak atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara
substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus
menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan, atau memperkaya
keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.[2]
Sedangkan 'Urf atau adat ialah sesuatu yang
telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh
sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Para fuqoha mendefinisikan Urf’ secara
terminologi sebagai norma yang sudah melekat dalam hati akibat
berulang-ulangnya, sehinga diterima sebagai sebuah realitas yang rasional dan
layak menurut penilaian akal sehat, norma tersebut bisa dilakukan oleh individu
atau kelompok masyarakat.[3]
Dalam Bangsa Indonesia telah menjadi suatu kebiasaan seorang Mukmin
menyalahi aturan Agamanya sendiri, yaitu kebiasaan dalam pluralisme yang
berlebihan. Kebiasaan tersebut adalah sebuah fenomena kemasyarakatan yang
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain,
gejala ini telah menyertai kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat
Pluralistis. Namun seperti yang telah kita ketahui, setiap hari Natal atau
Tahun Baru Masehi, banyak dari Masyarakat Muslim yang ikut serta dalam acara
mereka, bahkan tidak jarang juga beberapa orang Muslim disana mengikuti
tradisi-tradisi mereka, mulai dari perayaan Natal, sampai perayaan tahun baru
masehi. Padahal pada hakikatnya Natal termasuk hari raya
orang Kristen seperti hal nya hari raya idul fitri, dan idul adha adalah hari
raya bagi kaum Muslim. Sedangkan perayaan tahun baru Masehi merupakan tahun
baru kaumnya nabi isa yang dihitung sejak kenaikan al-Masih, maka orang-orang Islam
yang menyerupai mereka termasuk golongan dari mereka sebagai mana yang terdapat
dalam sebuah hadis
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “barang siapa yang menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk sebagian dari mereka”[4]
Dengan demikian apakah perbuatan orang muslim tersebut menyalahi
aturan Agama? Bilamana terdapat sebagian orang Muslim yang menirukan tradisi orang
Kristen. Kemudian apakah pluralisme seperti itu dibenarkan oleh Agama, Sekarang, pembahasan
realitas antar Agama hendaknya harus diranjut kembali. Ideologi dan perspektif
terhadap Pluralisme Agama, perlu penataan ulang dalam dimensi pikir,
dari ideologi bahwa Pluralisme Agama menjadi sumber solusi pemicu perpecahan sosial. Kemudian bagaimana jika perbuatan
tersebut merupakan adat yang dilakukan sejak zaman dahulu dalam masyarakat itu?
Dan tidak ada kita ketahui dalam masyarakat Muslim Indonesia tidak sedikit yang mengikuti tradisi orang Kristen. Apakah
hal tersebut dibenarkan oleh Agama?
Dalam ulasan Nadhom Qawaid Fiqhiyyah Al Faraid
Al Bahiyyah diterangkan mengenai adat atau ‘Urf dalam Islam. Dalam bukunya
dijelaskan tentang bagaimana jika suatu adat bertentangan dengan Syara’, jika
syara’nya tidak berhubungan dengan hukum, maka adat yang lebih diutamakan.
Tetapi jika Syara’ berhubungan dengan hukum, maka Syara’ yang diutamakan.[5]
Dengan demikian ikut serta dalam perayaan hari Natal dan tahun baru Masehi apakah
termasuk sebuah ibadah yang memiliki beban hukum menurut mereka? tidak, karena
suatu ibadah adalah jika mereka menyembah tuhan mereka. Mereka hanya berpesta
ria karena mereka telah bertemu dengan hari besar mereka. Dengan demikian
perayaan Natal dan Tahun Baru jika terdapat orang muslim yang ikut
merayakannya, jika hati mereka tidak meyakini adanya tuhan mereka, dan tidak
ikut dalam urusan ibadah mereka, maka diperbolehkan, karena tidak mengandung
sebuah hukum, dan adat lebih diutamakan. Adat bisa dijadikan sebagai hukum
karena العادة محكمة adat bisa dijadikan landasan hukum, dan kebanyakan
dari masyarakat Indonesia memahami bahwa kebiasaan seperti itu diperbolehkan.
Maka hukumnya diperbolehkan.
Tetapi jika dari golongan umat muslim hanya
mengatakan selamat kepada orang non muslim, dalam perayaan hari tersebut. Maka
hal tersebut diperbolehkan, karena sifat tersebut termasuk dalam sifat
toleransi antar agama, dengan tanda kutip yang tidak berlebih-lebihan, hanya
sekedar mengucapkan selamat. Pada dasarnya toleransi merupakan persoalan ajaran
dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata
cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka
hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu
ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan
yang primer adalah ajaran yang benar itu. Maka sebagai yang primer, toleransi
harus kita laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok
tertentu, bisa jadi untuk diri kita sendiri, pelaksanaan toleransi secara
konsekuen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”.[6]
Untuk memperkuat hal tersebut dalam Kajian kaidah-Kaidah Fiqh terdapat beberapa cara dalam
menyelesaikan hal tersebut, diantaranya hukum adat tersebut, dalam kitab
Qawaidul Fiqh terdapat sebuah nadzam:
مَبْحَثُ العَادَةُ هَلْ تُنَزَّلُ * مَنْزِلَةَ
الشَّرْطِ حِلاَفٌ يُنْقَلُ
وَغَالِبُ التَّرْجِيْحِ فِي الفُرُوعِ لاَ * يَكُوْنُ
كالشَّرْطَ كَمَا تَأَصّلاَ
Maksud dari Nadzam tersebut adalah adat yang berlaku di
suatu daerah, apakah disamakan dengan perjanjian (syarat-syarat)?, menurut
pendapat yang paling benar adalah tidak.[7]
Dengan demikian
maka dapat disimpulkan, jika suatu adat di suatu kaum tersebut memang tidak ada
perjanjian terlebih dahulu sebelumnya, maka adat tersebut tidak bisa disamakan
dengan perjanjian. Begitu juga jika para kaum tersebut telah menganggap bahwa
Perayaan Natal dan Tahun Baru memang sudah menjadi kebiasaan tersendiri, dan
mereka menganggap bahwa adat tersebut memang sudah mendarah daging bagi kaum
tersebut baik Muslim maupun Non Muslim, maka diperbolehkan, dengan syarat hati
mereka tidak meyakini Tuhannya Non Muslim, dan tidak mengikuti mereka dalam
Ibadahnya, tetapi karena saling menghargai dan hal tersebut sudah menjadi
kebiasaan yang tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Maka kebiasaan tersebut
diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asyat, Abi Dawud Sulaiman bin. Sunan Abi
Dawud. Beirut: Darr al-Risalah al-alamiyah. 2009. jilid 6.
Ishomuddin. pengantar sosiologi Agama.
Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Majid, Nurcholis. Cendekiawan dan
Religiusitas Masyarakat. Jakarta: TEKAD. 2002.
Manshur, Yahya Khusnan. Ulasan Nadhom
Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-bahiyyah.
Jombang: Pustaka al-muhibbin. 2011.
Naim, Ngainum. Islam dan Pluralisme Agama.
Yogyakarta: Aura Pustaka. 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar