Oleh: Misbakhul Ilham
Nama
pendirinya yaitu Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, yang dalam sejarah keturunannya
dihubungkan orang dengan keturunan dari Hasan anak Ali bin Thalib, dan dengan
demikian juga keturunan dari Siti Fatimah anak perempuan dari Nabi Muhammad
saw. Ia lahir di Amman, salah satu desa kecil, di Afrika, dekat desa Mensiah,
dimana hidup seorang wali sufi Abdul Abbas Al-Marsi, seorang yang tidak asing
lagi namanya dalam dunia tasawuf, kedua desa itu terletak didaerah Maghribi.
Syadzili lahir kira-kira dalam tahun 573 H. Orang yang pernah bertemu dengan
dia menerangkan, bahwa Syadzili mempunyai perawakan badan yang menarik, bentuk
muka yang menunjukkan keimanan dan keikhlasan, warna kulitnya yang sedang serta
badannya agak panjang dengan bentuk mukanya yang agak memanjang pula, jari-jari
langsing seakanakan jari-jari orang Hijaz. Menurut Ibn Sibagh bentuk badannya
itu menunjukkan bentuk seorang yang penuh dengan rahasia-rahasia hidup.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Abul’Aza’im, ringan lidahnya, enak didengar
ucapan-ucapannya, sehingga kalau ia berbicara, pembicaraannya itu mempunyai
pengertian yang dalam[1].
Syaikh Abu al-Hasan
al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi abad ke tujuh Hiriyah yang menempuh
jalur tasawuf searah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisisme, pelurusan jiwa dan
pembinaan moral. Menurut al-Syadzili, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia,
karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan
(al-Syadzili) sehingga tidak ada larangan bagi seorang salik untuk menjadi
konglomerat, asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang dimilikinya.
Sejalan dengan itu pula, bahwa seorang salik tidak harus memakai baju lusuh
yang tidak berharga, yang akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Walaupun
al-Syadzili sebagai mursyid (guru tarekat) tarekat, diceritakan bahwa beliau
adalah orang yang kaya raya secara aterial, tetapi tidak terbesit sedikitpun
keinginan didalam hatinya terhadap harta dunia[2].
Syadzili termasuk salah
seorang sufi yang luar biasa, seorang tokoh sufi terbesar, yang dipuja dan
dipuji di antaranya oleh wali-wali kebatinan dalam kitab-kitabnya, baik karena
kepribadiannya maupun karena fikiran dan ajaranajarannya. Hampir tidak ada
kitab tasawuf yang tidak menyebutkan namanya dan mempergunakan ucapan-ucapan
yang penuh dengan rahasia dan hikmah untuk mengutarakan sesuatu uraian atau
pendirian. Tarekat Syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu
dinasti al-Muwahhidun, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian
berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan dinasti
Mamluk.
Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana
dicatat oleh Victor Danner dalam Sri Mulyati, bahwa meskipun tarekat ini
berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah
dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah Maghrib dalam kehidupan
spiritual tidak sedikit[3].
Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu alAbbas
al-Mursi yang ditunjuk langsung olehal-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad
ibn Ali al-Anshari al-Mursi, terlahir di Murcia, spanyol pada 616H-1219M, dan
meninggal pada 686H/1287M di Alexandria. Di kota kelahirannya itu, juga lahir
sufi dan ulama terkenal Ibn al-‘Arabi dan Ibn Sab’in yang terakhir ini
dilahirkan hanya beberapa tahun sebelum al-Mursi. AlMursi termasuk murid yang
memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan ikhwan-ikhwan yang
lainnya.
[1] Abu Bakar Aceh,
Pengantar Ilmu Tarekat, (Jakarta: CV. Ramadhani, 1986),h. 305.
[2] M. saifuddin
Zuhri, Tarekat Syadziliah Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: teras, 2011), h.6.
[3]
Sri
mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Mu’tabarah Di Indonesia,
(Jakarta: prenada media, 2004),h.65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar