Selasa, 19 Januari 2016

Sejarah Thoriqot Syadziliyah

Oleh: Misbakhul Ilham
Nama pendirinya yaitu Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, yang dalam sejarah keturunannya dihubungkan orang dengan keturunan dari Hasan anak Ali bin Thalib, dan dengan demikian juga keturunan dari Siti Fatimah anak perempuan dari Nabi Muhammad saw. Ia lahir di Amman, salah satu desa kecil, di Afrika, dekat desa Mensiah, dimana hidup seorang wali sufi Abdul Abbas Al-Marsi, seorang yang tidak asing lagi namanya dalam dunia tasawuf, kedua desa itu terletak didaerah Maghribi. Syadzili lahir kira-kira dalam tahun 573 H. Orang yang pernah bertemu dengan dia menerangkan, bahwa Syadzili mempunyai perawakan badan yang menarik, bentuk muka yang menunjukkan keimanan dan keikhlasan, warna kulitnya yang sedang serta badannya agak panjang dengan bentuk mukanya yang agak memanjang pula, jari-jari langsing seakanakan jari-jari orang Hijaz. Menurut Ibn Sibagh bentuk badannya itu menunjukkan bentuk seorang yang penuh dengan rahasia-rahasia hidup. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Abul’Aza’im, ringan lidahnya, enak didengar ucapan-ucapannya, sehingga kalau ia berbicara, pembicaraannya itu mempunyai pengertian yang dalam[1].
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi abad ke tujuh Hiriyah yang menempuh jalur tasawuf searah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisisme, pelurusan jiwa dan pembinaan moral. Menurut al-Syadzili, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan (al-Syadzili) sehingga tidak ada larangan bagi seorang salik untuk menjadi konglomerat, asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang dimilikinya. Sejalan dengan itu pula, bahwa seorang salik tidak harus memakai baju lusuh yang tidak berharga, yang akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Walaupun al-Syadzili sebagai mursyid (guru tarekat) tarekat, diceritakan bahwa beliau adalah orang yang kaya raya secara aterial, tetapi tidak terbesit sedikitpun keinginan didalam hatinya terhadap harta dunia[2].
Syadzili termasuk salah seorang sufi yang luar biasa, seorang tokoh sufi terbesar, yang dipuja dan dipuji di antaranya oleh wali-wali kebatinan dalam kitab-kitabnya, baik karena kepribadiannya maupun karena fikiran dan ajaranajarannya. Hampir tidak ada kitab tasawuf yang tidak menyebutkan namanya dan mempergunakan ucapan-ucapan yang penuh dengan rahasia dan hikmah untuk mengutarakan sesuatu uraian atau pendirian. Tarekat Syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner dalam Sri Mulyati, bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah Maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit[3]. Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu alAbbas al-Mursi yang ditunjuk langsung olehal-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Ali al-Anshari al-Mursi, terlahir di Murcia, spanyol pada 616H-1219M, dan meninggal pada 686H/1287M di Alexandria. Di kota kelahirannya itu, juga lahir sufi dan ulama terkenal Ibn al-‘Arabi dan Ibn Sab’in yang terakhir ini dilahirkan hanya beberapa tahun sebelum al-Mursi. AlMursi termasuk murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan ikhwan-ikhwan yang lainnya.



[1] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Jakarta: CV. Ramadhani, 1986),h. 305.
[2] M. saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliah Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial, (Yogyakarta: teras, 2011), h.6.
[3] Sri mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Mu’tabarah Di Indonesia, (Jakarta: prenada media, 2004),h.65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar