oleh: Misbakhul Ilham
Berdasarkan
banyaknya problematika dalam kehidupan modern dan peran tasawwuf dalam
menanggulanginya, disini akan dipaparkan secara jelas mengenai tasawwuf serta pembagian-pembagianya.
A. Pengertian
Tasawwuf
Kata Tasawwuf
secara etimologis berasal dari bahasa arab, تصوف
يتصوف تصوفا. Ulama’ berbeda pendapat dari mana asal usulnya. Ada yang
mengatakan dari kata “shuf” (bulu domba), “shaf” (barisan), “shafa”
(jernih), dan dari kata “Shuffah” (emper masjid nabawi yang ditempati
oleh sebagian Sahabat Nabi Saw[1].
Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari “Shuf” yaitu dari
bahasa Arab untuk wol yang merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh
para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian
dari wol. Ada juga yang mengatakan dari kata “shafa”. yang berarti
kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme padakemurnian hati dan jiwa.
Karena itulah Tasawwuf juga disebut sebagai ilmu untuk mengetahui bagaimana cara
menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin, untuk
memporoleh kebahagian yang abadi. Kata tasawwuf juga berasal dari “Ashab al-Suffa”
(“Sahabat Beranda”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang orang beranda”), yang
mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad
yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabawi di Madinah, yang
disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal, karena di
serambi masjid itulah tempat mereka bernaung.
Sedangkan menurut
terminologis, tasawwuf diartikan secara variatif oleh para ahli sufi,
antara lain yaitu:
Menurut Imam Junaid
dari Baghdad (m. 910) mendefinisikan tasawwuf sebagai “mengambil setiap
sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”. Sedangkan menurut Syekh Abul
Hasan Asy-Syadzili (m.1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan
tasawwuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan
ibadah untuk mengembalikan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”. Juga menurut pendapat Syeikh Ahmad
Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawwuf sebagai “ilmu yang
dengannya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah,
dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan
pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam
batas-batas syariat Islam, agar kebijaksanaan menjadi nyata”[2].
Dengan demikian dapat disimpulkan secara
sederhana, bahwa tasawwuf itu adalah suatu sistem latihan dengan
kesungguhan (riyadlah-mujahadah), untuk membersihkan, mempertinggi, dan
memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga
dengan itu maka segala konsentrasi seorang hanya tertuju kepada-Nya. Dengan
pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawwuf adalah
bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia sebagaimana Islam juga
diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia.
B. Pembagian
Tasawwuf
Tasawwuf
adalah suatu bidang ilmu keislaman
dengan berbagai pembagian di dalamnya, yaitu tasawwuf akhlaki,
tasawwuf amali, dan tasawwuf falsafi. Tasawwuf akhlaki berupa
ajaran mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Ajaran yang terdapat
dalam tasawwuf ini meliputi takhalli, yaitu penyucian diri dari
sifat-sifat tercela dan tahalli yaitu menghiasi dan membiasakan diri
dengan sikap perbuatan terpuji kemudian tajalli, yaitu tersingkapnya Nur
Ilahi, seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia
setelah tahapan takhalli dan tahalli dilaluinya[3].
Tasawwuf
amali berupa tuntunan praktis tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada
Allah. Tasawwuf amali ini identik dengan thoriqot, sehingga bagi mereka
yang masuk tarekat akan memperoleh bimbingan semacam itu. Sementara tasawwuf
falsafi berupa kajian tasawwuf yang dilakukan secara mendalam dengan
tinjauan filosofis dengan segala aspek yang terkait di dalamnya. Dari ketiga
bagian tasawwuf tersebut, secara esensial semua bermuara pada
penghayatan terhadap ibadah murni (mahdlah) untuk mewujudkan akhlak
al-karimah baik secara individual maupun sosial.
Dalam hal pembagian tasawwuf,
penulis akan memfokuskan pada bahasan tasawwuf amali, dimana tasawwuf
tersebut lebih cenderung ke ajaran thoriqot. Ajaran thoriqot
menurut sejarah terdapat pada masa perkembangan tasawwuf, yaitu pada
abad IV Hijriah atau XII Masehi. Waktu itu thoriqot berkembang pada
musim hujan, yang sebenarnya para pencetusnya tidak berniat menjadikannya
sebagai sebuah “ajaran” tertentu, namun para pengikutnya yang mengupayakan
menjadi sebuah ajaran atau aliran.
Thoriqot
berasal dari bahasa arab Thariqah yang berarti metode mendekatkan diri
kepada Allah. Istilah ini sering dipertentangkan dengan Syari’ah yang
merupakan dimensi luar (dlahir) sebagaimana Thoriqot berdimensi
bathin. Sebenarnya kedua istilah tersebut berarti jalan, hanya jika thoriqot
berarti jalan kecil, syari’ah berarti jalan besar. Dua jalan itu harus
dilalui secara baik dengan mengamalkan keduanya secara seimbang agar ibadah
kepada Allah dilakukan secara lahir dan dihayati secara bathiniah[4].
Dalam thoriqot
sekurang-kurangnya ada empat hal yang patut dicatat, yaitu mursyid, baiat,
silsilah, murid dan ajaran. Mursyid adalah seorang yang telah
mencapai Rijal al-Kamal dan telah Mukasyafah (wali yang sempurna dan
telah terbukanya tabir penyekat antara dia dengan Tuhan, yang bertugas
membimbing muridnya sesuai dengan tingkatan (maqamat) nya masing-masing[5].
Sedangkan baiat dalam
bahasa thoriqot merupakan janji setia yang biasanya diucapkan oleh calon
salik dihadapan mursyid untuk menjalankan segala persuratan yang ditetapkan
oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syari’at Islam.
Ajaran atau dzikir
dalam sebuah thoriqot adalah termasuk bagian terpenting dalam thoriqot
yang hampir selalu dikerjakan dalam amalanya. Dzikir artinya mengingat Tuhan.
Akan tetapi dalam mengingat kepada Tuhan, dalam thoriqot dibantu dengan
berbagai macam ucapan, yang menyebut nama Allah atau sifat-sifatnya. Ahli thoriqot
berkeyakinan, jika seorang hamba telah yakin, jika lahir bathinya dilihat Allah
dan segala perbuatan diawasi Allah, dan ucapanya didengar Allah, segala niat
dan cita-cita diketahui Allah, maka hamba itu akan menjadi seorang yang benar,
karena ia selalu ada dalam keadaan memperhambakan dirinya kepada Allah[6].
Dalam uraian tentang thoriqot di atas,
banyak yang perlu kita ketahui bahwa ajaran thoriqot yang dapat diterima
masuk ke Indonesia adalah thoriqot-thoriqot yang sifatnya mu’tabarah,
yaitu thoriqot-thoriqot yang sumbernya berasal dari Abu Bakar As-Syiddiq ra
atau berasal dari Ali bin Abi Thalib rad an memiliki metode dzikir diantaranya
ada yang dzikirnya bersifat rahasia atau khafi, juga ada dzikir yang bersifat
keras atau jahr, dan juga ada penggabungan sifat keras dan rahasia
[1]
Syukur, Tasawwuf, h.53.
[2]Sarjanaku, “pengertian
tasawwuf secara etimologi”, http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawwuf-secara-etimologi-dan.html?m=1,
diakses pada tanggal 4 desember 2015.
[3]
Amin Syukur, Tasawwuf Kontekstual,(Yogyakarta: Pusaka pelajar,
2003),h.2.
[4]
Syukur, Tasawwuf Kontekstual, h.10.
[5]
Syukur, Tasawwuf Kontekstual, h.11.
[6]
Muflikhin, Akhlak, h.4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar