Selasa, 19 Januari 2016

Perkembangan Tarekat Syadziliyah

oleh: Misbakhul Ilham
Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia[1], juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Thoriqot ini berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagai mana dicatat oleh Victor Danner, adalah bahwa meskipun Thoriqot ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah Maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, peranannya sejak abad ke-7 H/13 M sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan Shuayb al-Maghribi (w. 594H/ 1197 M), Ibn Arabi (w. 638H/ 1240 M). Abdul al-Salam ibn Mashish (w. 625H/ 1228M), Ibn Sab’in (w. 669H/ 1271M), dan al-Tusturi (w. 625H/ 1270M) itu berasal dari daerah Maghrib. Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghrib itu berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan Muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga mazhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat pengaturan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abbasîyah pada abad ke-2 H/ 8 M, dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atmosfir yang melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7H./13 M. yang mengembangkan kebebasan berfikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban, dan perekonomian.
Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Umar bin Ali al-Ansari al-Mursi, terlahir di Mercia, Spanyol pada 616 H/ 1219 M, dan meninggal pada 686 H/ 1287 M di Alexandria. Seperti gurunya, al-Mursi di samping mempunyai kualitas spiritual yang tinggi ia juga seorang humanis. Dia sangatlah konkern terhadap masalah sosial kemasyarakatan dan orang-orang miskin. Dia tidak membedakan di antara mereka, baik itu beragama Islam atau tidak. Diceritakan bahwa suatu ketika angin sangat kencang sehingga hampir setiap nelayan gagal menangkap ikan. Yaqut al-Habashi, murid al-Mursi memperoleh beberapa ikan hasil tangkapan. Ketika sang Yahudi berniat membelinya, Yaqut berkata, “Jangan, ikan ini untuk guru saya.” Kemudian ikan itu diserahkan kepada gurunya. Namun ketika al-Mursi mengetahui bahwa ada seorang Yahudi kelaparan yang membutuhkan ikan tersebut, dia menyuruh Yaqut untuk memberikannya (dengan cuma-cuma). Al-Mursi berkata, “Sesungguhnya dia (Yahudi) mempunyai anak dan istri yang sedang kelaparan, yang sangat membutuhkan ikan tersebut”[2].
Di antara murid-muridnya adalah al-Busiri (w. 694 H/1295 M), penyair Mesir yang berasal dari Berber, yang amat terkenal dengan dua syairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad, yakni Burdah (Syair Jubah) dan Hamziyah yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi. Murid yang lainnya adalah Shaykh Najm al-Din al-Isfahani (w. 721 H/1321 M), murid al-Mursi berkebangsaan Persia yang lama menetap di Makkah dan menyebarkan ajaran Syadziliyah kepada para jamaah haji. Ia adalah guru Shadhiliyah bagi al-Yafi’i (w. 78 H/1367 M), yang melalui tokoh ini, Tarekat Ni’matullahi yang beraliran Syi’ah mengadakan hubungan dengan Shadhiliyah. Termasuk murid al-Mursi adalah Syekh Ibn Atha Allah (w. 709 H/1309 M) guru ketiga dari rantai silsilah tarekat ini. Ia merupakan Syekh pertama yang menuliskan ajaran, pesan-pesan serta doa-doa al-Shadhili dan al-Mursi. Ia pula yang menyusun berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak ternilai untuk memahami tasawuf Shadhiliyah bagi angkatan sesudahnya[3].
 Syekh Ibn Atha Allah mewariskan sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi. Ia menulis beberapa buku antara lain yaitu: al-Hikam, sebuah rangkuman atas jalan sufi dalam elemennya yang abadi: al-Tanwir fî Isqat al-Tadbir, sebuah penjelasan akan kesalahan yang dapat ditemukan dalam sebuah pilihan bebas yang egosentris: Lataif al-Minan, sebuah biografi tentang dua guru pertama Tarekat Syadziliyah: al-Qisas al-Mujjarad fi Ma‘rifat al-Ism al-Mufrad, sebuah diskusi metafisika dan spiritual yang amat baik serta mengenai asma Allah dan nama-nama lain: Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, sebuah kompedium tentang zikir dalam pengertian luas; dan sejumlah karya yang tidak terlalu terkenal. Seluruh karyanya ini akhirnya mendominasi karya-karya al-Syadzili, sebab ialah Syekh pertama yang menorehkan pena demi kodifikasi ajaran-ajaran Tarekat Syadziliyah. Mengenai pengaruh al-Syadzili kepada Ibn Atha Allah, tampaknya dimungkinkan melalui dua cara, yaitu melalui al-Mursi dan hizib-hizib yang ditinggalkan al-Syadzili. Melalui dua cara inilah Ibn Atha Allah mewarisi ajaran spiritual al-Syadzili. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Atha Allah pada dasarnya adalah ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dalam uraian-uraian atau tulisan-tulisan Ibn Ath  Allah.
Pada abad ke-8 H/ 14 M di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyah, yang didirikan oleh Shams al-Din Muhammad bin Ahmad Waf (w. 760 H/1359 M) yang juga dikenal dengan Bahr al-Safa,  ayah dari tokoh terkenal Ali ibn Wafa (w. 807H/ 1404M). Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur Dekat di luar Mesir. Setelah abad ke-9 H/ 15 M mereka mengenakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya asli Syadziliyah yang tidak menonjolkan diri tidak diperhatikan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan. Mereka juga perlahan-lahan mulai terlibat dengan kehidupan institusional yang lebih kompleks dibandingkan dengan menghadapai generasi Syadziliyah awal.
 Di samping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu Hanafiyah, Jazuliyah, Nasiriyah, Isawiyah, Tihamiyah, Darqawiyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan mengadaptasikan kembali pesan-pesan murni tarekat Syadziliyah. Kemunculan mereka sering kali disebabkan oleh tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons khusus dalam hubungannya dengan para sufi. Dalam hal ini Victor Danner menguraikan sejumlah alasan yang mungkin di sekitar munculnya berbagai cabang tarekat Shadhiliyah. Ia mengambil contoh tarekat Jazuliyah, yang berasal dari seorang iman terkenal, al-Jazuli (w. 875 H/ 1470 M), salah seorang wali utama di Marakesh. Menurutnya, Jazuliyah tampaknya memunculkan diri sebagai pengenjawantahan dari ketaatan yang sangat kuat terhadap Nabi Muhammad. Hal ini seperti terlihat dalam lantunan shalawat Nabi ciptaannya yang dikenal luas dengan Dalail al-Khairat. 



[1] Hasan Muarif Ambari [et.al], Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.193.
[2] Ambari, Ensiklopedi, h. 209.
[3] Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Usmani (Bandung: Pustaka, 1997), 239-240.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar