oleh: Misbakhul Ilham
Berdasarkan ajaran yang
diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang
dinisbahkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat
antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia[1],
juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Thoriqot
ini berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan
dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagai mana dicatat oleh Victor
Danner, adalah bahwa meskipun Thoriqot ini berkembang pesat di daerah
Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan
demikian, peran daerah Maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut
Danner, peranannya sejak abad ke-7 H/13 M sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi
yang sezaman dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan
Shuayb al-Maghribi (w. 594H/ 1197 M), Ibn Arabi (w. 638H/ 1240 M). Abdul al-Salam
ibn Mashish (w. 625H/ 1228M), Ibn Sab’in (w. 669H/ 1271M), dan al-Tusturi (w.
625H/ 1270M) itu berasal dari daerah Maghrib. Walaupun dasar-dasar tasawuf
Maghrib itu berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun
kecerdasan Muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur
masjidnya, juga mazhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri
umum ini mendapat pengaturan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abbasîyah pada
abad ke-2 H/ 8 M, dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atmosfir
yang melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7H./13 M.
yang mengembangkan kebebasan berfikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban,
dan perekonomian.
Sepeninggal al-Syadzili,
kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk
langsung oleh al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Umar bin Ali al-Ansari
al-Mursi, terlahir di Mercia, Spanyol pada 616 H/ 1219 M, dan meninggal pada
686 H/ 1287 M di Alexandria. Seperti gurunya, al-Mursi di samping mempunyai
kualitas spiritual yang tinggi ia juga seorang humanis. Dia sangatlah konkern
terhadap masalah sosial kemasyarakatan dan orang-orang miskin. Dia tidak
membedakan di antara mereka, baik itu beragama Islam atau tidak. Diceritakan
bahwa suatu ketika angin sangat kencang sehingga hampir setiap nelayan gagal
menangkap ikan. Yaqut al-Habashi, murid al-Mursi memperoleh beberapa ikan hasil
tangkapan. Ketika sang Yahudi berniat membelinya, Yaqut berkata, “Jangan, ikan
ini untuk guru saya.” Kemudian ikan itu diserahkan kepada gurunya. Namun ketika
al-Mursi mengetahui bahwa ada seorang Yahudi kelaparan yang membutuhkan ikan
tersebut, dia menyuruh Yaqut untuk memberikannya (dengan cuma-cuma). Al-Mursi
berkata, “Sesungguhnya dia (Yahudi) mempunyai anak dan istri yang sedang
kelaparan, yang sangat membutuhkan ikan tersebut”[2].
Di antara
murid-muridnya adalah al-Busiri (w. 694 H/1295 M), penyair Mesir yang berasal
dari Berber, yang amat terkenal dengan dua syairnya berupa puji-pujian kepada
Nabi Muhammad, yakni Burdah (Syair Jubah) dan Hamziyah yang keduanya sering
dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi. Murid yang lainnya adalah Shaykh Najm
al-Din al-Isfahani (w. 721 H/1321 M), murid al-Mursi berkebangsaan Persia yang
lama menetap di Makkah dan menyebarkan ajaran Syadziliyah kepada para jamaah
haji. Ia adalah guru Shadhiliyah bagi al-Yafi’i (w. 78 H/1367 M), yang melalui
tokoh ini, Tarekat Ni’matullahi yang beraliran Syi’ah mengadakan hubungan
dengan Shadhiliyah. Termasuk murid al-Mursi adalah Syekh Ibn Atha Allah (w. 709
H/1309 M) guru ketiga dari rantai silsilah tarekat ini. Ia merupakan Syekh
pertama yang menuliskan ajaran, pesan-pesan serta doa-doa al-Shadhili dan
al-Mursi. Ia pula yang menyusun berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk
buku-buku dan karya-karya yang tak ternilai untuk memahami tasawuf Shadhiliyah
bagi angkatan sesudahnya[3].
Syekh Ibn Atha Allah mewariskan sebuah katalog
yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, Syekh Abu al-Abbas
al-Mursi. Ia menulis beberapa buku antara lain yaitu: al-Hikam, sebuah
rangkuman atas jalan sufi dalam elemennya yang abadi: al-Tanwir fî Isqat al-Tadbir,
sebuah penjelasan akan kesalahan yang dapat ditemukan dalam sebuah pilihan
bebas yang egosentris: Lataif al-Minan, sebuah biografi tentang dua guru
pertama Tarekat Syadziliyah: al-Qisas al-Mujjarad fi Ma‘rifat al-Ism
al-Mufrad, sebuah diskusi metafisika dan spiritual yang amat baik serta
mengenai asma Allah dan nama-nama lain: Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah,
sebuah kompedium tentang zikir dalam pengertian luas; dan sejumlah karya yang
tidak terlalu terkenal. Seluruh karyanya ini akhirnya mendominasi karya-karya
al-Syadzili, sebab ialah Syekh pertama yang menorehkan pena demi kodifikasi
ajaran-ajaran Tarekat Syadziliyah. Mengenai pengaruh al-Syadzili kepada Ibn
Atha Allah, tampaknya dimungkinkan melalui dua cara, yaitu melalui al-Mursi dan
hizib-hizib yang ditinggalkan al-Syadzili. Melalui dua cara inilah Ibn
Atha Allah mewarisi ajaran spiritual al-Syadzili. Secara sederhana bisa
dikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Atha Allah pada dasarnya adalah
ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dalam uraian-uraian atau
tulisan-tulisan Ibn Ath Allah.
Pada abad ke-8 H/ 14 M
di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyah, yang didirikan
oleh Shams al-Din Muhammad bin Ahmad Waf (w. 760 H/1359 M) yang juga dikenal
dengan Bahr al-Safa, ayah dari tokoh
terkenal Ali ibn Wafa (w. 807H/ 1404M). Wafaiyah berkembang dengan jalannya
sendiri seiring dengan pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur
Dekat di luar Mesir. Setelah abad ke-9 H/ 15 M mereka mengenakan model pakaian
sufi mereka sendiri, seakan gaya asli Syadziliyah yang tidak menonjolkan diri
tidak diperhatikan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan.
Mereka juga perlahan-lahan mulai terlibat dengan kehidupan institusional yang
lebih kompleks dibandingkan dengan menghadapai generasi Syadziliyah awal.
Di samping cabang itu, muncul cabang-cabang
lainnya yaitu Hanafiyah, Jazuliyah, Nasiriyah, Isawiyah, Tihamiyah, Darqawiyah,
dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan mengadaptasikan kembali pesan-pesan
murni tarekat Syadziliyah. Kemunculan mereka sering kali disebabkan oleh
tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons khusus dalam hubungannya
dengan para sufi. Dalam hal ini Victor Danner menguraikan sejumlah alasan yang
mungkin di sekitar munculnya berbagai cabang tarekat Shadhiliyah. Ia mengambil
contoh tarekat Jazuliyah, yang berasal dari seorang iman terkenal, al-Jazuli
(w. 875 H/ 1470 M), salah seorang wali utama di Marakesh. Menurutnya, Jazuliyah
tampaknya memunculkan diri sebagai pengenjawantahan dari ketaatan yang sangat
kuat terhadap Nabi Muhammad. Hal ini seperti terlihat dalam lantunan shalawat
Nabi ciptaannya yang dikenal luas dengan Dalail al-Khairat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar