Rabu, 13 Januari 2016

sejarah kepemimpinan khalifah Abu Bakar

oleh:  Misbakhul Ilham







 Abu Bakar






             Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi lahir pada tahun 572 M dan wafat pada tanggal 23 agustus 634 atau 21 jumadil akhir tahun 13 H. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah “ hamba ka’bah”,yang kemudian di ganti oleh Nabi Muhammad menjadi Abdullah”hamba Allah”. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Di juluki Abu Bakar karena ia adalah ayah dari Aisha binti Abu Bakar yaitu salah satu istri Nabi yang masih gadis, oleh karena itu Abdullah namanya di ganti rosulullah menjadi Abu Bakar berarti “ ayah si gadis” dan Abu Bakar di juluki As-Syiddiq karena Abu Bakar adalah orang pertama kali yang mempercayai dan membenarkan peristiwa Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Dan Abu Bakar adalah salah satu golongan Assabiquunal Awwalun di luar ahli bait, Abu Bakar sering kali mendampingi Rasulullah di saat-saat penting atau jika berhalangan, dan Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual di Madinah.[1]
2.2 Proses Pemilihan Kholifah
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632 M), dilakukan musyawarah dikalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat islam atau khalifah islam.
Memang Rasulullah wafat mengejutkan kaum muslimin tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir beliau mengalami gangguan kesehatan sekurang-kurangnya selama tiga bulan, dan Nabi Muhammad telah merasakan bahwa ajalNya akan tiba.
Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat islam menjadi sangat tegang. Padahal semasa hidupNya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh diantara sesama pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Anshor dilambatkanya pemakaman Beliau menggambarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras dalam perebutan sebagai pemimpin umat Islam di Saqifah Bani Saidah.
            Sebelum Rosulullah meningeal dunia, konon Rosulullah tidak berwasiat kepada siapa yang akan menjadi penggantinya. Hal ini kemudian terjadi kesibukan tersendiri bagi umat Islam dalam menentukan siapa pengganti Rosulullah yang tepat setelah Rosulullah, kejadian ini sangat menimpa kesibukan kaum Muhajirin dan Anshor sehingga banyak terjadi kontroversi di kalangan umat yang di wakili dari dua golongan ini dalam menentukan siapa yang pantas untuk menjadi pengganti Rosulullah sebagai pemimpin mereka.
            Realitasnya adalah bahwa waktu itu ada dua kelompok besar yang saling bersaing lewat pemilihan tersebut yakni kelompok Anshor dan Muhajirin yang berlangsung di Saqifah Bani Sa’idah,  pertemuan di balai Bani Saidah di Madinah dari kaum Anshor dan suku Khazraj mencalonkan Sa’ad bin Ubadah, ia adalah pemuka Khazraj. Sedangkan dari kaum Muhajirin mencalonkan Umar, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dan dalam musyawarah pemilihan pemimpin tersebut banyak hal yang harus kita teladani yakni dari kaum muhajirin Abu Bakar mengajukan untuk memilih Umar dan Ubaidah bin Jarrah,  sebagai penggantiNya,karena mereka berdua ini adalah orang-orang yang mulia disisi keluarganya, tetapi mendengar hal itu Umar langsung berkata balik, “Sungguh aku menyukai Ucapan Abu Bakar tetapi aku lebih suka dibunuh atau mati dari pada aku memimpin Umat Islam yang di dalamnya ada Abu Bakar.[2] Akhirnya lewat proses perdebatan yang panjang terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti Rosulullah  melewati Umar yang asalnya di tunjuk Oleh Abu Bakar kemudian menunjuk balik kepada Abu Bakar, karena Abu Bakar adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Nabi dan Ia adalah satu-satunya sahabat yang mempercayai Rosulullah pertama kali yang juga mendapatkan gelar as-sabiqun al-awwalun dan juga mendapatkan gelar Ash-Shiddiq dari Rosulullah dan ketika Rosulullah sakit Abu Bakar di tunjuk Sebagai pengganti imam sholat pada waktu itu. Maka dari usulan Umar tersebut maka terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti Rosullullah pada tahun 632 M. tetapi di kelompok lain ada sekelompok yang memihak Ali bin Abi thalib sebagai pengganti Nabi, karena Nabi telah menunjuk secara terang-terangan Ali sebagai penggantinya, di samping Ali juga sebagai menantu Nabi, namun Ali bin Abi Tholib sendiri bersedia untuk membaiat atau mengakui Abu Bakar sebagai Kholifah, jadi permasalahan ini bisa diselesaikan dengan cara yang damai.
dalam pemerintahan Abu Bakar telah beliau jelaskan sendiri kepada rakyat banyak dalam sebuah pidatonya ketika Abu Bakar sudah selesai dibaiat olem kaum muslimin di Masjid Nabawi dan Abu Bakar berkata: “Wahai manusia ! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantara kamu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, maka bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah ! orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan hak kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu mentaatiku.[3]
 Penunjukan Abu Bakar sebagai Khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam islam dimana umat islam terpecah menjadi kaum sunni dan syi’ah. Disatu sisi kaum syi’ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah sendiri, sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin, sementara muslim syi’ah berpendapat berpendapat kalau Rasulullah dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terakhir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi’ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas.
Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai’at) kepada Abu Bakar dan dua Khalifah setelahnya (Umar dan Utsman). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Dan Sementara kaum syi’ah menggambarkan bahwa Ali melakukan bai’at tersebut secara pro forma, mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan-bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
2.3 Perang Riddah
            Wafatnya Nabi mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat Muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya justru menyatakan murtad, yaitu keluar dari islam . mereka melepaskan kesetiaan dengan menolak memberikan baiat kepada Kholifah yang baru dan bahkan menentang agama Islam, karena mereka menganggap bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Muhammad dengan sendirinya batal disebabkan kematian Nabi.
Abu Bakar menerima jabatan Khalifah pada saat sejarah Islam dalam keadaan krisis dan gawat. Yaitu timbulnya perpecahan, munculnya para nabi palsu dan terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang pengangkatan Abu Bakar berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai Tsaqifah Bani Sa’idah) akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya nabi dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam telah berakhir.
Beberapa suku bangsa yang berdiam di sekitar Makkah, Thaif dan Madinah juga tetap memeluk Islam dengan taat, mereka diantaranya: Muzainah, Ghiffar, Juhainah, Bala, Asyja’, Aslam, dan Khuza’ah. Sedangkan suku-suku bangsa yang baru masuk Islam, diliputi kegoncangan. Karena agama Islam belum tertananm dalam dada mereka secara mendalam, jalan kemurtadan akhirnya harus mereka tempuh. Kepercayaan lama kembali di peluk, seiring dengan lepasnya keislaman mereka. Mereka tidak mau lagi tunduk kepada ketentuan pemerintahan Islam yang berkedudukan di pusat kota madinah. Bagi mereka, zakat adalah sejenis upeti yang harus di bayarkan kepada pemerintah pusat Madinah. Padahal, sebelum mereka memeluk Islam, kebebasan adalah milik mereka. Setelah Nabi wafat, mereka menganggap bahwa orang-orang Madinah tidak memiliki kelebihan apapun di banding dengan mereka .
Suku-suku yang menolak untuk memberikan zakat adalah yang bermukim di dekat Madinah dari Abes dan Dzubyan. Barisan mereka di perkuat dengan bergabungnya Kinanah, Ghatafan dan Fazarah. Sedangkan suku-suku yang berdiam jauh dari Madinah, kecongkaan mereka menyatakan kemurtadanya semakin menjadi-jadi. Di antara mereka bahkan ada yang menyatakan dirinya sebagai Nabi. Nabi-nabi palsu itu bermunculan di berbagai tempat. Seperti Thulaihah dari kalangan suku Asad, Sajah pada suku Tamim, Musailamah di Yamamah dan dzitaj Luqait ibn Malik di Oman. Dan di yaman sebagian besar penduduknya juga mengikuti pengikut Nabi Palsu Aswad al-Ansi. Mula-mula mereka menyebarkan fitnah, lalu di lanjutkan dengan mengadakan pemberontakan. Dan nasib mereka berlangsung ketika perang Riddah.
Abu Bakar sebagai seorang Khalifah, tidak mendiamkan kejadian itu terus berlanjut. Beliau memandang gerakan murtad itu sebagai bahaya besar, kemudian beliau menghimpun para prajurit Madinah dan membagi mereka atas sebelas batalion dengan komando masing-masing panglima dan ditugaskan keberbagai tempat di Arabia. Abu Bakar menginstruksikan agar mengajak mereka kembali pada Islam, jika menolak maka harus perangi.
Beberapa dari suku itu tunduk tanpa peperangan, sementara yang lainnya tidak mau menyerah, bahkan mengobarkan api peperangan. Oleh karena itu pecahlah peperangan melawan mereka, dalam hal ini Kholid bin Walid yang diberi tugas untuk menundukan Thulaiha, dalam perang Buzaka berhasil dengan cemerlang. Sedangkan Musailamah seorang penuntut kenabian yang paling kuat, Abu Bakar mengirim Ikrimah dan Surabil. Akan tetapi mereka gagal menundukan Musailamah, kemudia Abu Bakar mengutus Kholid untuk melawan nabi palsu dari Yaman itu. Dalam pertempuran itu Kholid dapat mengahacurkan pasukan Musailamah dan membunuhnya dalam peperangan Yamamah. Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian dengan Nabi menjadi terputus. Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua yaitu :
1.      Mereka yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di dalamnya orang yang meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan jahiliyah.
2.      Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
Dalam menghadapi kemunafikan dan kemurtadan ini, Abu Bakar tetap pada prinsipnya yaitu memerangi mereka sampai tuntas.

2.4    Perluasan Wilayah
            Dalam memperluas wilayah Islam Abu Bakar bersama pasukanya Mengembangkan wilayah Islam keluar Jazirah Arab. Ini ditujukan ke Iraq dan Suriah, yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua wilayah itu menurut Abu Bakar harus di taklukan karena untuk mempermatang keamanan daerah Islam dari serbuan adikuasa kerajaan Persia dan Bizantium. Untuk exspansi ke Iraq di pimpin ole Khalid bin Walid, sedangkan ke suriah di impin tiga pang lima yaitu : amr bin Ash, yazid bin abu sufyan dan surahbil bin Khasanah.
daftar rujukan
Amir, Samsul Munir. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah.
Fuadi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta : Teras.
Haikal, Muhammad Husain. 2007. Biografi Abu Bakar ash-Shiddiq. Jakarta : Qisthi Press.
Murad, Musthafa. 2014. Kisah Hidup Abu Bakar al-Shiddiq. Jakarta : Zaman.
Sulami, Muhammad bin Ismail. 2004. Al Bidayah Wan Nihayah Masa Kholifah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau ibn Katsir. Jakarta : Darul Haq.

Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Pers.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar