oleh: Misbakhul Ilham
1.1 Latar Belakang
Setelah era Khulafaur Rasyidin usai,
pemerintahan digantikan oleh para penguasa yang membentuk kekuasaan dengan
sistem kekuasaan kekeluargaan atau dinasti.Dimulai dari kekuasaan Muawiyah ibn
Abi Sofyan yang membentuk Dinasti Umayyah (661 s.d 750 M), maka sistem
pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarchi hereditis
(kerajaan turun temurun).[1]
Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan dan diplomasi, tidak melalui
musyawarah, pemilihan atau suara terbanyak.Suksesi kepemimpinan secara turun
temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
kesetiaan (baiat) pada anaknya, Yazid ibn Muawiyah, yang kelak
menggantikannya. Dalam hal ini tampaknya Muawiyah memang tetap menggunakan istilah
khalifah, namun ia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Muawiyah menyebut khalifah Allah dalam
pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.[2]
Disintregasi dalam bidang politik sebenarnya
sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah.Hal itu disebabkan karena
kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan oleh sebagian besar warganegara, akibat
sistem politik kerajaan yang diktator.Aspirasi yang tidak tersalurkan, hak-hak
yang terampas, dan penindasan-penindasan mendorong penduduk untuk bangkit
memberontak.Pemberontakan seperti itu juga terjadi pada masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah.Namun, pemberontakan-pemberontakan itu dapat ditumpas pada
masa pemerintahan Bani Umayyah, dan masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah periode
pertama.[3]
Setelah masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
pertama berakhir, keadaan politik dunia Islam dengan cepat mengalami
kemunduran.Pemerintahan Dinasti Abbasiyah kuat secara politik hanya pada
periode pertama saja.Pada periode selanjutnya, pemerintahan Dinasti Abbasiyah
mulai menurun.Masa disintegrasi atau perpecahan yang terjadi pada masa
Abbasiyah merupakan perpecahan politik dimana muncul pemerintahan baru selain
pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, yaitu masa pemerintahan al-Mutawakkil sampai
dengan al-Muntashim (27 khalifah).[4]
Pada masa ini hubungan antara Abbasiyah sebagai pusat pemerintahan dan
dinasti-dinasti baru dapat digolongkan sebagai berikut:
- Dinasti yang menyatakan setia pada khalifah, tetapi tidak
mengirimkan hasil pajaknya pada pemerintahan pusat.
- Dinasti yang sejak awal pembentukannya sudah menyatakan tidak
tunduk pada Abbasiyah.
Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah,
muncul fanatisme kebangsaan yang mengambil bentuk gerakan syu’ubiyah
(kebangsaan/anti Arab).Gerakan inilah yang menginspirasi banyak gerakan
politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Dinasti-dinasti yang tumbuh
dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada
yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada
juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni.[5]
Selanjutnya mulai periode kedua, wibawa
khalifah merosot tajam. Dalam keadaan seperti itu para panglima tentara
mengambil alih kekuasaan dari khalifah.Namun, kekuasaan para tentara itu tidak
bertahan lama karena mereka saling berselisih dan tidak didukung penduduk
akibat kedzaliman mereka.Hal itulah yang menjadi latar belakang bermulanya masa
disintregasidan dunia Islam terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan.
Kondisi politik dunia Islam
ketika Dinasti Abbasiyah didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa
di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan
dunia baik di timur dan barat Baghdad.
Pada
masa Bani Abbasiyah terdapat dinasti-dinasti kecil yang jumlahnya cukup banyak
diantaranya adalah dinasti Idrisiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti Syaffariyah,
dsb. Di timur Baghdad
diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254
H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), dan Dinasti
Ghazwani.[6]
Namun
dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mengkhususkan pada pembahasan "dinasti-dinasti kecil di timur baghdad"
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
secara garis besar makalah kami ini akan membahas permasalahan tentang :
1.
Sejarah Peradaban Islam
dari munculnya dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.
2.
Faktor kemajuan dan
kemunduran peradaban sejarah dari dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.
1.3 Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini :
1. Mengetahui Sejarah
Peradaban Islam munculnya dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.
2. Mengetahui beberapa Faktor
kemajuan dan kemunduran dan wilayah peradaban sejarah dari dinasti-dinasti
kecil di timur Baghdad.
1.4 Manfaat
Pembahasan
Kegunaan dari penelitian ini di harapkan dapat
menambah bahan pengetahuan dan kajian seputar atau sebagian sejarah peradaban
Islam pada masa dinasti-dinasti kecil di wilayah timur Baghdad dan mengetahui
wilayah kekuasaan Islam serta mengambil manfaat sebesar-besarnya dari berbagai
faktor dan sejarah peradaban islam dari dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor-faktor penyebab
kemunculan dinasti-dinasti Islam kecil di Baghdad
Ada kemungkinan bahwa para
Khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi
tertentu, alasannya:
1. Mungkin para Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat
mereka tunduk kepadanya.[7]
2. Penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[8]
3. Latar sosial politik munculnya dinasti-dinasti kecil
di barat dan timur Baghdad yaitu:
a. Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih
menitik beratkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan
politisasi, sehingga memberikan peluang terhadap wilayah-wilayah yang jauh dari
pusat kekuasaan untuk memisahkan diri dari pemerinah Abbasiyah.
b. Adanya pemberian hak otonomnya, sehingga tidak
terkontrol karena yang memberi hak berada jauh dari pemerintahan pusat, serta
terlalu luas kekuasaan Abbasiyah.
c. Jika pada masa dinasti Umayah wilayah kekuasaan masih
merupakan suatu kesatuan yang utuh, yakni wilayah yang membentang dari Spanyol
di Erofa, Afrika utara hingga ke timur di India, sedangkan masa dinasti
Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan
Khalifah yaitu dinasti Baghdad.
d. Tumbuhnya dinasti ini tidak terlepas dari persaingan
antara bani Hasyim dan BaniUmmayah serta munculnya Bani Ali, yang merupakan
pecahan dari Bani Hasyim.
4. Dilihat dari perkembangan sosial ekonomi, munculnya
dinasti kecil ini memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi, seperti
Samarkand atau Bukhara yang menjadi kota perdagangan utama.
5. Akhirnya banyak privinsi-provinsi tertentu yang mulai
lepas dari genggaman Bani Abbas, ini bisa terjadi dengan beberapa cara,
diantaranya:
a. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan
dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, contoh: Daulat Umayyah di Spanyol
dan Idrisiyah di Marokko.
b. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh
Khalifah, kedudukannya bertambah kuat, contohnya: Daulat Aghlabiyah di Tunisia
dan Thahiriyyah di Khurasan.[9]
B.
Hubugan
dinasti-dinasti kecil dengan pemerintahan Islam di Baghdad
Kehadiran dinasti-dinasti-dinasti yang dependen pada
masa Dinasti Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
keberlangsungan Dinasti Abbasiyah. Tanpa kehadiran dinasti-dinasti kecil ini,
besar kemungkinan eksistensi Dinasti Abbasiyah tidak akan berumur panjang,
seperti :
1. Bidang Politik
a. Memadamkan begitu banyak pemberontakan yang secara
politis potensial dalam menggerogoti kewibawaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Contoh : Dinasti Aghlabiyah, misalnya, dalam sejarah Islam telah memiliki
kontribusi besar dalam memadamkan pemberontakan rakyat di Tripoli,
pemberontakan yang dipimpin oleh Hamdis, pemberontakan Ziyad bin Sahal, pemberontakan
Ahmad, pemberontakan Mansyur ibn Nasyr, pemberontakan ‘Umar bin Salim,
pemberontakan-pemberontakan lainnya yang umumnyabanyak dipelopori oleh suku
Barbar. Pemberontakan-pemberontakan yang berpotensi politis dan menghabiskan
anggaran atau kas negara ini bisa diatasi oleh Dinasti Abbasiyah karena
kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut yang secara hirarkis-politis masih
menganggap Dinasti Abbasiyah sebagai “pusat pemerintahan mereka”.[10]
2. Bidang ekonomi.
a. Keberadaan dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan
kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah untuk memeratakan perkembangan ekonomi
b. daerah-daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sangat
luas tersebut.
c. Dinasti-dinasti kecil yang lahir dan berkembang
tersebut telah mampu memastikan pendapatan bagi kas negara Dinasti Abbasiyah
terjamin dan terjaga.
3. Bidang sosial budaya
a. Melahirkan intelektual dan filosof-filosof besar.
b. Dinasti-dinasti kecil ini dalam sejarah dianggap telah
memberikan ruang untuk menumbuh kembangkan peradaban Islam dengan baik dan
apresiatif. Jadi tidaklah mengherankan apabila dalam masa dinasti-dinasti kecil
ini eksis, mereka telah mampu memfasilitasi zaman untuk melahirkan intelektual
dan filosof-filosof besar Islam sekaliber Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Ibnu
Thufail, Ibnu Rusyd, Ibn al-Na’im, Abu Farij al-Isfahan, al-Khaitami dan
lain-lain.
c. Apresiatif dengan seni arsitektur. Jadi tidaklah
mengherankan apabila pusat-pusat pemerintahan dinasti-dinasti kecil ini
memiliki banyak bangunan-bangunan (terutama masjid) dengan arsitektur yang
indah danmegah.
4. Bidang keagamaan.
a. Dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi
besar dalam menyebarkan ajaran Islam ke daerah phery-phery. Tanpa adanya
“perpanjangan tangan” Dinasti Abbasiyah (baca : dinasti-dinasti kecil), besar
kemungkinan penyebaran Islam ke daerah-daerah pinggiran
b. kekuasaan Dinasti Abbasiyah tidak mampu berjalan
dengan baik dan dengan intensif sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti-dinasti
kecil tersebut.[11]
C.
Dinasti-dinasti
di Timur Baghdad
1.
DINASTI
THAHIRIYYAH (205-259 H. /820-872 M.)
a.
Sejarah
Berdirinya
Thahiriyyah adalah merupakan salah satu dinasti yang
muncul pada masa Daulah Abbasiyah di sebelah timur Baghdad, berpusat di
Khurasan dengan ibu kota Naisabur. Dinasti ini
didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205H/821 M di Khurasan,dinasti ini
bertahan hingga tahun 259 H/873 M.
Thahir
muncul pada saat pemerintahan Abbasiyah terjadi perselisihan antara kedua
pewaris tahta kekhalifahan antara Muhammad al-Amin (memerintah 194-198
H/809-813 M ), anak Harun ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Arab
(Zubaidah) sebagai pemegang kekuasaan di Baghdad dan Abdullah al-Makmun anak
Harun ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Persia, sebagai pemegang kekuasaan
di wilayah sebelah timur Baghdad.[12]
Thahir
ibn Husein merupakan seorang jenderal pada masa khalifah Dinasti Abbasiyah yang
lahir di desa Musanj dekat Marw dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab
ibn Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara pemerintah
Abbasiyah di Baghdad dengan keluarga Thahir sudah terjalin sejak lama. Karena
itu cukup beralasan bila pemerintah Baghdad memberikan kepercayaan kepada
generasi keluarga Mash’ab ibn Zuraiq untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan
lokal. Tujuannya tetap sama, menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam Abbasiyah
di wilayah Timur kota Baghdad dan menjadi pelindung dari berbagai kemungkinan
serangan negara-negara tetangga di Timur.[13]
Sebenarnya,
latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan
kekuasaan antara al-Makmun dengan
al-Amin.[14]
perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun ar-Rasyid meninggal dunia
pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir
berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan
itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya
bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai bentuk
penghargaanatas jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain atau Zu
al-Yaminain ( trampil ), bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan
tangan yang hebat (minus one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir
juga diberi kepercayaan untuk menjadi gubernur di Khurasan pada tahun 205 H,
jabatan ini diberikan oleh al-Makmun sebagai balasan atas jerih payahnya dalam
medan perang.
Jabatan
ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti karir politik pemerintahan
pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang diraihnya ternyata belum memuaskan
baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Baghdad. Untuk itu,
ia menyusun strategi untuk segera melepaskan diri dari pemerintahan
Baghdad. Di
antaranya dengan tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap kesempatan dan
mata uang yang di buatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang
independen dari pemerintahan Baghdad tidak terealisir, karena ia keburu
meninggal pada 207 H. Setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur
(205-207 H). Meskipun begitu, khalifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan
kepada keluarga Thahir untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut.
Terbukti setelah Thahir meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada putranya
bernama Thalhah ibn Thahir.[15]
b.
Kemajuan-kemajuan
yang dicapai
Dinasti
Thahiriyyah mengalami masa kemajuan ketika pemerintahan di pegang oleh Abdullah
ibn Thahir, saudara Thalhah. Abdullah memiliki kekuasaan dan pengaruh yang
cukup besar, belum pernah hal ini dimiliki oleh para Wali sebelumnya. Ia terus
menjalin komunikasi dan kerjasama dengan Baghdad sebagai bagian dari bentuk
pengakuannya terhadap peran dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan
pemerintah Baghdad yang pernah dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, terus
ditingkatkan. Peningkatan keamanan di wilayah perbatasan terus dilakukan guna
menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang mengacaukan pemerintahan Abbasiyah.
Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan. Selain itu,
ia juga memberika ruang yang cukup luas bagi upaya pengembangan ilmu
pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di lingkungan masyarakatnya di
wilayah Timur Baghdad. Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dunia islam,
kebuadayaan dan memajukan ekonomi, dinasti ini menjadikan kota Naisabur sebagai
pusatnya, sehingga pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan
pertumbuhan ekonomi yang baik. Adanya pertumbuhan ekonomi yang baik inilah yang
sangat mendukung terhadap kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada
umumnya.[16]
c.
Masa-masa
kemunduran
Dalam perjalanan selanjutnya, dinasti ini justru tidak
mengalami perkembangan ketika pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir
(248-259 H), saudara kandung Abdullah ibn Thahir, bahkan mengalami masa
kemesrosotan. Faktornya antara lain ;
Pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap
pemerintah Baghdad, karenanya Baghdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan
untuk menggusur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada
pemerintah baru, yaitu dinasti Saffariyah.
Pola
dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para penguasa dinasti ini. Gaya hidup
seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya
perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban islam.
Keamanan
dan keberlangsungan pemerintahan tidak terpikirkan secara serius, sehingga
keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama
mengincar posisi strtegis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah.
Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Baghdad untuk menumpas
sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari
pemerintahan Baghdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa
jabatan dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah
di wilayah Timur kota Baghdad.
Dalam perjalanan selanjutnya, dinasti ini justeru tidak
mengalami perkembangan ketika pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir
(248-259 H), saudara kandung Abd Allah ibn Thahir, bahkan mengalami masa
kemerosotan. Faktornya antara lain, adalah pemerintahan ini dianggap sudah
tidak loyal terhadap pemerintah Bagdad, karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan
ini sebagai alasan untuk menggusur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis
diserahkan kepada pemerintah baru, yaitu dinasti Saffariyah. Muhammad ibn
Thahir II memiliki kemampuan yang rendah dibandingkan pendahulu-pendahulunya,
pada tahun 259H/873 M dia menyerahkan Nisyapur kepada Ya’qub ibn Layts. Pada
tahun 271H/885 M dia ditunjuk kembali menjadi gubernur, namun tidak pernah
menjalankan jabatan itu dengan baik, dan dia meninggal pada awal abad kesepuluh[17]
Faktor lain penyebab kemuduran dan kehancuran dinasti
Thahiriyah adalah pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para penguasa
dinasti ini. Gaya hidup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya
pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Selain itu, persoalan keamanan dan keberlangsungan
pemerintahan juga tidak terpikirkan secara serius, sehingga keadaan ini
benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama mengincar
posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah. Kelompok
baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad untuk menumpas sisa-sisa
tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan
Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti
Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur
kota Bagdad.[18]
2.
DINASTI
SAFARIYAH (254-290 H/868-901 M)
a.
Latar
Belakang dan Sejarah Bedirinya Dinasti Shaffariyah
Dinasti Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama
berkuasa di dunia Islam. Wilayah kekuasaan dinasti Shaffariyah meliputi kawasan
Sijistan, Iran. Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang
pemimpin kelompok khawarij di provinsi
Sistan.[19]
Gelar al-Saffar dilekatkan di belakang namanya ini menunjukkan bahwa ia
adalah seorang ahli dalam me-nempa tembaga atau kuningan, semacam mpu di
Jawa,yang diwarisi secara turun temurun. Kegagalan usaha keluarganya,
menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat
kecil untuk melakuan gerakan perampokan. Sasaran dari kegiatannya ini adalah
para saudagar kaya yang melintas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan
diambil harta mereka kemudian diberikan kepada para fakir miskin.[20]
Pada mulanya, Ya’kub ibn Layts bersama saudaranya bernama ‘Amr ibn Layts
membantu pasukan pemerintah Bagdad dalam memberantas pemberontakan yang
dilakukan oleh sisa-sisa tentara Thahiriyah di wilayah Sijistan.
Keberhasilannya di Sijistan, membawanya ke puncak pimpinan tentara sebagai
komandan untuk menaklukkan wilayah Herat, Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan
Persia yang digabungkan dengan Balkh. Atas jasa dan prestasinya, khalifah
al-Mu’tamid mengangkatnya menjadi gubernur membawahi wilayah Balkh, Turkistan,
Kirman, Sijistan dan Sind. Ambisi Ya’kub ternyata tidak cukup sampai di situ.
Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan mengalahkan Fars pada 869 M, dan
menduduki Syiraj, ibu kota Fars. Kemudian pada 873 M menduduki Nisabur dan sisa
wilayah Thahiriyah. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 875 M, dari Fars ia
bergerak menuju Bagdad, dan berusaha menduduki ibu kota tersebut. Tetapi
menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km, pasukannya dihadang oleh pasukan
al-Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak menyurutkan ambisinya, malah ia
bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum dilaksanakan, ia keburu
meninggal dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap sebagai gubernur yang tidak
loyal, yang melampaui batas mandat yang diberikan khalifah, tetap saja jabatan
gubernur untuk wilayah Timur dipercayakan kepada saudara Ya’kub al-Layts, yaitu
Amr ibn Layts.[21]
Dinasti Shaffariyah yang didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar ini
justeru mengalami kehancuran ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang
oleh ‘Amr ibn al-Layts, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah kekuasannya
hingga Transoxania (ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya dihambat oleh
Bani Saman, dan beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani
Saman, kecuali Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepenuhnya
merdeka, karena ia harus tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan posisi
jabatan gubernur tetap berada di bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M,
meskipun seringkali terjadi pergantian penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah
silih berganti berada di bawah penguasa lain setelah dinasti Samaniyah, seperti
menjadi penguasa lokal (gubernur) yang tunduk pada pemerintahan dinasti
Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi menjadi kepanjangan
tangan pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat diketahui secara pasti
mengapa dinasti ini bertahan begitu lama. Hal pasti yang dapat ditegaskan di
sini bahwa keberadaan dinasti ini karena persoalan politik praktis dan
pragmatis. Sebab menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri khas dari dinasti
ini adalah ambisinya untuk memperoleh kekuasaan otonomi di Sijistan, sebagai
pusat pemerintahannya. Karenannya, ketika kekuasaan datang silih berganti,
dinasti ini tetap memperoleh hak otonom di Sijistan hingga abad ke-15 M.[22]
b.
Kemajuan
dan Kemunduran Dinasti Shaffariyah
Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami perkembangan pada masa
pemerintahan Amr ibn Lays, ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya sampai
ke Afganistan Timur.[23]
Dalam masa pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, terutama
perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffariyah
meletakkan dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang miskin
di Sijistan. Karena itu, faktor inilah yang kemungkinan menjadi salah satu
sebab lamanya dinasti ini berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan
keadaan masyarakat yang menjadi pendukung pemerintahan, terutama komunitas
masyarakat miskin. Seorang amir abad kesepuluh, Khalaf ibn Ahmad, menjadi
termasyhur sebagai pelindung ilmu pengetahuan.[24]
c.
Pada tahun
393 H/1003 M Mahmud dari Ghazna menguasai provinsi itu dan menjadikannya
sebagai wilayah kekuasaannya, namun Shaffariyah terus bertahan, dan pada
pertempuran Ghaznawiyah-Seljuq pada tahun-tahun pertengahan abad kesebelas
memperkuat posisinya, mula-mula berkuasa sebagai bawahan Seljuq, kemudian
sebagai bawahan ghuriyyah. Bahkan setelah invasi Mongol dan Timur,
kejadian-kejadian yang begitu kalut dan menyedihkan bagi sebagian besar dunia
Islam Timur, Dinasti Shaffariyah berhasil bertahan sampai akhir abad kelima
belas.[25]
3.
DINASTI
SAMANIYAH (261-389 H/873-998 M)
a.
Sejarah
berdirinya
Pendiri
dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah dinisbahkan
kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan
tanah keturunan bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara
Afghanistan. Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khafilah yang
memerintah secara berurutan, yaitu;
1.
Ahmad I ibn Asad
Samaniyah (Gub. Farghana) 204 H/819
M
2.
Nash I ibn Ahmad,
(semula Gubernur Samarkand) 279 H/864 M
3.
Ismail I ibn Ahmad 279
H/892 M
4.
Ahmad II ibn Ismail 295
H/907 M
5.
Al-Amir as-Sa’id Nashr
II 301
H/914 M
6.
Al-Amir al-Hamid Nuh I 331
H/943 M
7.
Al-Amir al-Mu’ayyad
Abdul Malik I 343
H/954 M
8.
Al-Amir as-Sadid
Manshur I 350
H/961 M
9.
Al-Amir as-Ridha Nuh II 365
H/976 M
10. Manshur
II 387
H/ 997 M
11. Abdul
Malik II 389
H/999 M
12.
Ismail II Al-Muntashir 1000-1005
M
Dinasti ini berbeda
dengan dinasti kecil lain yang berada di sebelah barat Baghdad, dinasti ini
tetap tunduk kepada kepemimpinan khafilah Abbasiyah.[26]
Dalam sejarah islam
tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut
islam pada masa khalifah Hisyam bin
Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu Samankhadut dan keturunannya
mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan al-Ma’mun (198-218
H/813-833 M) dari dinasti Bani Abbasiyah, empat cucu Samankhudat memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan
Abbasiyah yaitu Nuh di Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan
Traksoksania, yahya bin Asad di Shash serta Asyrusanah (daerah di utara
Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.[27]
Seorang cucu
Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya mulai merintis
berdirinya Dinasti Samaniyah di daerah kekuasaannya, Farghana Ahmad mempunyai
dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan khalifah
Abbasiyah . Nasr I bin Ahmad di percayakanmenjadi
gubernur di Transoksania dan Isma’il bin Ahmad di Bukhara. Selanjutnya Nasr I
bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid untuk memerintah
seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi
basisperkembangan dinasti Samaniyyah. Karenanaya Nasr I bin Ahmad di anggap
sebagai pendiri hakiki dinasti ini. Antara Nasr dan saudaranya, isma’il selalu
terlibat konflik yang mengakibatkan terjadinya peperangan, dalam peperangan
yang terjadi Nasr mangalami kekalahan yang kemudian ia di tawan, sehingga
kepemimpinan Dinasti Samaniyyah beralih ke tangan Isma’il bin Ahmad.
Adanya peralihan kepeminpinan ini
menyebabkan berpindahnya pusat pemerintahan yang semula di Khurasan di
pindahkan ke Bukhara. Pada saat pemerintahan di pimpin Isma’il I bin Ahmad, ia
selalu berusaha untuk;
1.
Memperkukuh kekuatan
dan mengamankan batas wilayahnya dari ancaman suku liar Turki.
2.
Membenahi administrasi
pemerintahan.
3.
Memperluas wilayah
kekuasaan ke Tabaristan (Irak utara) dan Rayy (Iran).
Isma’il I bin Ahmad adalah orang
yang sangat mencintai dan memuliakan para ilmuwan serta bertindak adil terhadap
rakyatnya, setelah ia wafat pemerintahan di teruskan putranya Ahmad bin
Ismai’il. Setelah Ahmad bin Isma’il, pemerintahan di teruskan putranya Nasr II
bin Ahmad yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Sijistan,
Karman, Jurjan di samping Rayy, Tabaristan,Khurasan, dan Transoksania. Setelah
Nasr II bin Ahmad, para khalifah berikutnya tidak mampu lagi melakukan
perluasan wilayah, bahkan pada khalifah terakhir Isma’il II al-Muntasir, tidak
dapat mempertahankan wilayahnya dari serbuan tentara dinasti Qarakhan dan
dinasti Ghaznawiyah dari Turki. Akhirnya wilayah Samaniyyah di pecah menjadi
dua, daerah Transoksania direbut oleh Qarakhan dan wilayah Khurasan menjadi
pemilik penguasa Ghaznawiyah.[28]
b.
Kemajuan-kemajuan
yang di capai
Dinasti
Samaniyyah telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajuan islam,
baik dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, budaya, politi, dan lain-lain.
Tokoh atau pelopor yang sangat berpengaruh di bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan pada dinasti ini adalah ibn
sina, selain beliau juga muncul para pujangga dan ilmuwan di bidang kedokteran,
astronomi dan filsafat yang sangat terkenal, seperti Al-Firdausi, Ummar Kayam,
Al-Bairuni dan Zakariya Ar-Razi. Dinasti ini telah berhasil menciptakan kota
Bukhara dan Samarkan sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang sangat
terkenal di seluruh dunia, sehingga kota ini dapat menyaingi kota-kota lain,
seperti Baghdad dan Cordova. Dinasti ini juga telah berhasil mengembangkan
perekonomian dengan baik, sehingga kehidupan masyarakat sangat tentram, hal terjadi
karena dinasti ini tidak pernah lepas hubungan dengan pemerintah pusat di
Baghdad.
Puncak kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa
khalifahan Ismail. Kemajuan yang dicapai pada masanya antara lain: mampu
menghancurkan Dinasti Shaffariyah di Transoxania, serta mampu memperluas
wilayahnya hingga Tabaristan, Ray, Qazwin sehingga keamanan dalam negeri
terjamin.[29]
Dinasti ini memiliki saham yang cukup berarti bagi
perkembangan Islam, baik dari aspek politik maupun aspek kebudayaan.Dalam aspek
politik, misalnya mereka telah mampu memelihara tempat atau pusat yang
strategis bagi daulat Islam di timur, mengembangkan kekuasaan Islam sampai ke
wilayah Turki.Sedangkan dalam aspek kebudayaan, misalnya di istana Dinasti
Samaniyyah di Bukhara ini menjadi tempat menetapnya para ulama serta merupakan
kiblatnya para pujangga.
Pada masa Nuh ibnu Nashr al-Samani, ia memiliki
perpustakaan yang tidak ada bandingannya. Di dalamnya terdapat kitab-kitab
masyhur dari berbagai disiplin ilmu, yang tidak terdapat di tempat lainnya.Mereka
juga membantu menghidupkan kembali bahasa Persia.
Ketika paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim
wa tadlid, seperti yang digariskan oleh khalifah al-Mutawakkil dan Imam
Ahmad ibnu Hambal, maka perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat
memuncak di tangan daulat Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan
kebudayaan Islam pada waktu itu.Di zaman ini lahir para tokoh pemikir Islam,
seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, al-Firdausi, dan lain-lain.Sementara itu
di wilayah politik yang menarik dikaji adalah bahwa munculnya dinasti-dinasti
di timur Baghdad ini di suatu sisi dianggap sebagai pergeseran dominasi Arab
dalam dunia politik.[30]
c.
Masa
–masa kemunduran
Pada saat dinasti mencapai kejayaannya, banak imigran
Turki yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan, namun bersebab dari
tingginya fanatic kesukuan pada dinasti ini, akhirnya mereka para imigran Turki
yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan tersebut banyak yang di
copot, langkah-langkah inilah yang menyebabkan kehancuran dinasti ini, karena
mereka tidak terima dengan perlakuan tersebut, sehingga mereka mengadakan
penyerangan sampai mereka berhasil melumpuhkan dinasti ini.
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Mukhtafi mengangkat
Abu Nashr ibnu Ismail, anak dari Ismail. Belum lama memerintah lalu ia
terbunuh, dan digantikan oleh putranya Nashr II, yang baru berusia delapan
tahun. Para tokoh Samani merasa khawatir, sementara itu masih ada paman
bapaknya, yaitu Ishaq ibnu Ahmad, penguasa Samarkand yang memihak kepada penduduk
Transoxania.Lalu tokoh Samani menyampaikan permohonan kepada khalifah
al-Muktadir, agar didatangkan pemerintahan dari Khurasan, tetapi khalifah
bersikeras menolaknya.
Pada pertengahan abad kesepuluh, terlihat Dinasti
Samaniyyah menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan.Serangkaianrevolusi istana
memperlihatkan bahwa kelas militer dan kelas tuan tanah menentang kebijaksanaan
sentralisasi administratif para amir, dan berupaya memegang kendali,
pemberontakan-pemberontakan di Khurasan melepaskan provinsi itu dari otoritas
langsung Bukhara. Maka tidaklah sulit bagi Qarakhaniyyah dan Ghazwaniyah untuk
mengambil alih wilayah-wilayah Samaniyyah pada dasawarsa terkhir abad ini.Dan
pada tahun 1005 M Ismail al-Muntasir terbunuh dalam pelariannya.[31]
4.
DINASTI
UKAILIYAH (386-489 H/996-1095 M)
Ukailiyyah berasal dari kelompok suku
badui besar Amir ibn Sha’sha’a, yang juga mencakup Khafaja dan Muntafiq di Irak
bawah. Dengan runtuhnya penguasa terakhir Hamdaniyyah dan Mosul, kota itu beralih ketangan Abu Dzawad
Muhammad Ibnul Musayyib al-Aqili dari
Ukailiyyah.[32]
Setelah Abu Dzawad Muhammad Ibnul
Musayyib al-aqili meninggal, terjadi upaya untuk merebut kekuasaan di antara
putra-putranya, suatu upaya yang menghancurkan semua pihak. Namun penguasaan
atas Mosul dan kota-kota lain Ukailiyyah dan benteng-bentengnya di Al-Jazirah
akhirnya berada di tangan Mu’tamid Daulah Qarawisy ibn Al-Muqallid. Problem
utama Mu’tamid Daulah Qarawisy ibn Al-Muqallid adalah menjaga ketuhanan wilayah
kekuasaannya agar tidak di invasi Oghuz dari Persia barat dan irak. Upaya
menjaga keutuhan ini mengharuskan membuat persekutuan dengan penguasa lain di
irak yang sama-sama terancam yaitu Mazyadiyyah Hilla.[33]
Kemudian, di bawah Syarafud Daulah
Muslim ibn Qarawisy wilayah kekuasaan Ukailiyyah terbentang hampir di Baghdad
sampai ke Aleppo. Ukailiyyah bukanlah dinasti Badui yang haus perang, tetapi
telah memperkenalkan beberapa hal penting dari pola baku pemerintahan
Abbasiyyah ke wilayah mereka. Pemerintahan ini terus berlangsung hingga
akhirnya dihancurkan oleh orang-orang saljuk pada tahun 489 H/1095 M.[34]
5.
DINASTI
GHAZNAWIYYAH (351-585 H/962-1189 M)
Sejak tahun 850-an M, Kehalifahan Abbasiyah berusaha mencari orang-orang
yang dapat dipercaya untuk dijadikan tentara. Mereka tidak memakai jasa orang
Arab karena takut orang-orang tersebut akan berusaha merebut kekuasaan.
Abbasiyah lalu merasa bahwa orang-orang Turk merupakan prajurit yang
terpercaya. Maka dari itu orang-orang Abbasiyah mulai menangkap sejumlah pemuda
Turk untuk dijadikan budak, lalu mendidik mereka menjadi tentara. Ternyata
orang Turk terbukti menjadi prajurit yang handal. Namun seiring waktu
orang-orang Turk itu mulai mengambil kekuasaan para khalifah Ababsiyah. Pada
tahun 962 M, khalifah Ababsiyah memecat Alptigin, jenderal yang bertugas
mengurus daerah Khurasan (Afghanistan modern).
Wilayah dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian timur, Afganistan,
Pakistan dan beberapa wilayah bagian India.[35]
Pusat pemerintahannya di kota Ghazna Afganistan.[36]
Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke India menyebarkan agama Islam ,
menghancurkan berhala menggantikan kuil dengan masjid dan mampu berjaya sampai
kurang lebih 220 tahun.[37]
Namun Alptigin tidak ikhlas dengan pemecatannya. Dia pun berangkat ke selatan
dan merebut benteng Ghazni dari orang-orang Samaniyah yang sebelumnya
menguasainya. Dia meninggal setahun kemudian namun anak buahnya berhasil
merebut Afghanistan dan mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Para prajruit
ini dikenal sebagai Ghaznawiyah sesuai nama benteng mereka. Mereka lalu
menaklukan Kabul pada tahun 977 M. Di bawah sultan agung Mahmud, cucu Alptigin,
mereka merebut Herat dari kekuasaan Samaniyah pada tahun 1000 M, dan menguasai
sebagian Persia (Iran modern) juga. Setelah itu pasukan Ghaznawiyah mulai
menyerbu India.
Pada awalnya serbuan Sultan Mahmud ke India adalah untuk mendapatkan emas
dan budak, serta untuk menghancurkan berhala-berhala di sana. Banyak kuil Hindu
di India utara yang dihancurkan dalam serbuan ini, termasuk kuil Siwa yang
terkenal di Gujarat. Mahmud memperoleh banyak sekali harta rampasan sehingga
dia mampu membangun istana yang indah di Ghazni. Dia bahkan memiliki 2500 gajah
di sana. Jika tiba musim dingin di Ghazni, Mahmud dan anak buahnya akan
berpindah ke Bost menggunakan gajah. Namun pada akhirnya Mahmud menaklukan Punjab
(Pakistan modern dan India utara) dan menjadikannya bagian dari kekuasaannya.
Mamhmud memerintah sekitar 30 tahun sebelum akhirnya meninggal pada tahun 1030
M. Dinasti Ghaznawiyah tidak bertahan lama setelah kematiannya. Pada tahun 1040
M, Ghaznawiyah ditaklukan oleh orang-orang Seljuk dan Ghuri.[38]
6.
DINASTI SALJUK
Orang Saljuk adalah orang Turk nomad dari Turkmenistan. Mereka berkerabat
dengan orang Uygur, yang memasuki Kekhalifahan Abbasiyah sekitar tahun 950 M
dan secara bertahap memeluk Islam Sunni. Pada tahun 1030 M mereka mulai merebut
kekuasaan, dan dengan cepat menaklukan Kesultanan Ghaznawiyah, yang juga
merupakan bangsa Turk. Ini membuat orang Seljuk berhasil menguasai sebagian
besar Persia (Iran modern). Ibukota mereka adalah Isfahan. Seperti halnya orang
Ghaznawiyah, orang Seljuk juga menuturkan bahasa Persia dan mempraktikkan
kebudayaan Persia.
Pada tahun 1055 M, sultan Seljuk, berhasil menaklukan Irak. Setelah itu,
meskipun masih ada Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, khalifahnya bisa dibilang
harus tunduk pada Togrul. Setelah Togrul Beg meninggal pada tahun 1063 M, dia
digantikan oleh keponakannya Alp Arslan ("singa pahlawan").
Di barat, Alp Arslan bertempur untuk merebut Suriah dari kekuasaan
Fatimiyah serta Armenia dari kekuasan Kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1070 M,
kaisar Bizantium Romanus IV Diogenes memutuskan untuk menghalau Seljuk dari
Armenia. Pada awalnya pasukan Bizantium, yang dibantu orang Norman, memperoleh
kemenangan. Kemudian terjadi pertempuran besar Manzikert pada tahun 1071 M,
sebelah timur sungai Efrat, dan Bizantium mengalai kekalahan. Seljuk tidak
hanya memperoleh kemenangan, melainan juga menangkap kaisar Diogenes. Pada
akhirnya, Alp Arslan membebaskan Diogenes dengan tebusan berupa emas dalam
jumlah banyak serta wilayah Armenia dan banyak wilayah Bizantium lainnya.
Setelah itu kedua pihak ini berdamai.
Alp Arslan meninggal setahun kemudian dan putranya Malik Shah naik tahta
menjadi sultan. Setelah Malik Shah meninggal pada tahun 1092, Seljuk mulai
melemah, dan pada tahun 1192 dinasti mereka runtuh. Kesultanan Seljuk Raya
kemudian terpecah menjadi beberapa kesultanan kecil.Wilayah Kesultanan Rum pada
tahun 1190 M. Kesultaan Rum adalah salah satu kesultanan pecahan dari
Kesultanan Seljuk Raya Ketika Mongol datang menyerbu Asia Barat, Bizantium dan
Seljuk bertempur bersama-sama melawan Mongol. Akan tetapi mereka kalah, dan
pada tahun 1243 M. Mongol merebut Iran dan Anatolia (Turki mod ern). Setelah
Kekaisaran Mongol runtuh, salah satu sultan Seljuk yang bernama Utsman mendirikan
kesultanan baru yang disebut Utsmaniyah.[39]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai
pembahasan yang menjelaskan tentang sejarah dalam makalah ini maka dapat kita
ambil kesimpulan yaitu ;
1.
Munculya dinasti-
dinasti kecil di Timur dan Barat Baghdad dikarenakan beberapa faktor, diantaranya
yaitu karena Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat
dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, sehingga hal
ini menyebabkan khalifah terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil. Namun munculnya dinasti-dinasti kecil
tersebut juga turut memberikan andil dalam perkembangan dan kemajuan Islam.
2.
Dinasti-dinasti
diwilayah timur Baghdad;
a.
Dinasti Thahiriyyah (205-259
H./ 820-872 M)
b.
Dinasti Shafariyyah (254-290
H./ 868-901 M)
c.
Dinasti Samaniyyah (261-389
H./873-998 M)
d.
Dinasti Ukailiyyah (386-489
H./996-1095 M)
e.
Dinasti Ghaznawiyyah (351-585 H./962-1189M)
f.
Dinasti Saljuk (429-700
H./1037-1299 M)
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Amzah, 2009), h. 253.
[2] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:
Teras, 2011), h. 90
[3] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam II (Jakarta:
Ditjen Binbaga Islam,1996) h. 437
[4] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), h. 87
[6] Http/google.com: https://.wordpress.com/2015/10/5/
(Dinasti kecil Bani Abbasiyah di Bagdad)
[15] C.E.
Bosworth, The Islamic Dynasties, Eidenburgh, 1980.
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan , (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1993),
hal 126.
[30]Ibid.
[32] Ahmad Al-Usairy, At-Tarikhul
Islam,(Terjemahan; 2003), h. 277.
[33] C. E. Broswoth, Dinasti-Dinasti
Islam,(Terjemahan; 1980), h.81
[35] Hasan Ibrahim Hasan, Tarekh al-Islam, ( Kairo: Maktabah al-Nahdah
al-Misriyah, 1979), jilid III h. 94
[36] sebelah selatan kota Kabul (Afganistan bagian Timur ) dan sebelah
utara kota Kandahar. lihat Hammond ,
Op.Cit, h: 46
[37] Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Op. Cit, h: 169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar