Rabu, 13 Januari 2016

dinasti-dinasti kecil di timur baghdad

oleh: Misbakhul Ilham

BAB I

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Setelah era Khulafaur Rasyidin usai, pemerintahan digantikan oleh para penguasa yang membentuk kekuasaan dengan sistem kekuasaan kekeluargaan atau dinasti.Dimulai dari kekuasaan Muawiyah ibn Abi Sofyan yang membentuk Dinasti Umayyah (661 s.d 750 M), maka sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarchi hereditis (kerajaan turun temurun).[1] Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan dan diplomasi, tidak melalui musyawarah, pemilihan atau suara terbanyak.Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan (baiat) pada anaknya, Yazid ibn Muawiyah, yang kelak menggantikannya. Dalam hal ini tampaknya Muawiyah memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun ia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Muawiyah menyebut khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.[2]
Disintregasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah.Hal itu disebabkan karena kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan oleh sebagian besar warganegara, akibat sistem politik kerajaan yang diktator.Aspirasi yang tidak tersalurkan, hak-hak yang terampas, dan penindasan-penindasan mendorong penduduk untuk bangkit memberontak.Pemberontakan seperti itu juga terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.Namun, pemberontakan-pemberontakan itu dapat ditumpas pada masa pemerintahan Bani Umayyah, dan masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah periode pertama.[3]
Setelah masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah pertama berakhir, keadaan politik dunia Islam dengan cepat mengalami kemunduran.Pemerintahan Dinasti Abbasiyah kuat secara politik hanya pada periode pertama saja.Pada periode selanjutnya, pemerintahan Dinasti Abbasiyah mulai menurun.Masa disintegrasi atau perpecahan yang terjadi pada masa Abbasiyah merupakan perpecahan politik dimana muncul pemerintahan baru selain pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, yaitu masa pemerintahan al-Mutawakkil sampai dengan al-Muntashim (27 khalifah).[4] Pada masa ini hubungan antara Abbasiyah sebagai pusat pemerintahan dan dinasti-dinasti baru dapat digolongkan sebagai berikut:
  1. Dinasti yang menyatakan setia pada khalifah, tetapi tidak mengirimkan hasil pajaknya pada pemerintahan pusat.
  2. Dinasti yang sejak awal pembentukannya sudah menyatakan tidak tunduk pada Abbasiyah.
Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah, muncul fanatisme kebangsaan yang mengambil bentuk gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab).Gerakan inilah yang menginspirasi banyak gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Dinasti-dinasti yang tumbuh dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni.[5]
Selanjutnya mulai periode kedua, wibawa khalifah merosot tajam. Dalam keadaan seperti itu para panglima tentara mengambil alih kekuasaan dari khalifah.Namun, kekuasaan para tentara itu tidak bertahan lama karena mereka saling berselisih dan tidak didukung penduduk akibat kedzaliman mereka.Hal itulah yang menjadi latar belakang bermulanya masa disintregasidan dunia Islam terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan.
Kondisi politik dunia Islam ketika Dinasti Abbasiyah didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad.
Pada masa Bani Abbasiyah terdapat dinasti-dinasti kecil yang jumlahnya cukup banyak diantaranya adalah dinasti Idrisiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti Syaffariyah, dsb. Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), dan Dinasti Ghazwani.[6]
Namun dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mengkhususkan pada pembahasan "dinasti-dinasti kecil di timur baghdad"
1.2  Rumusan Masalah
Adapun secara garis besar makalah kami ini akan membahas permasalahan tentang :
1.      Sejarah Peradaban Islam dari munculnya dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.
2.      Faktor kemajuan dan kemunduran peradaban sejarah dari dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.


1.3  Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini :
1.      Mengetahui Sejarah Peradaban Islam munculnya dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.
2.      Mengetahui beberapa Faktor kemajuan dan kemunduran dan wilayah peradaban sejarah dari dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.
1.4  Manfaat Pembahasan
 Kegunaan dari penelitian ini di harapkan dapat menambah bahan pengetahuan dan kajian seputar atau sebagian sejarah peradaban Islam pada masa dinasti-dinasti kecil di wilayah timur Baghdad dan mengetahui wilayah kekuasaan Islam serta mengambil manfaat sebesar-besarnya dari berbagai faktor dan sejarah peradaban islam dari dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Faktor-faktor penyebab kemunculan dinasti-dinasti Islam kecil di Baghdad
Ada kemungkinan bahwa para Khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, alasannya:
1.      Mungkin para Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya.[7]
2.      Penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[8]
3.      Latar sosial politik munculnya dinasti-dinasti kecil di barat dan timur Baghdad yaitu:
a.       Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitik beratkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberikan peluang terhadap wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan untuk memisahkan diri dari pemerinah Abbasiyah.
b.      Adanya pemberian hak otonomnya, sehingga tidak terkontrol karena yang memberi hak berada jauh dari pemerintahan pusat, serta terlalu luas kekuasaan Abbasiyah.
c.       Jika pada masa dinasti Umayah wilayah kekuasaan masih merupakan suatu kesatuan yang utuh, yakni wilayah yang membentang dari Spanyol di Erofa, Afrika utara hingga ke timur di India, sedangkan masa dinasti Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah yaitu dinasti Baghdad.
d.      Tumbuhnya dinasti ini tidak terlepas dari persaingan antara bani Hasyim dan BaniUmmayah serta munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim.
4.      Dilihat dari perkembangan sosial ekonomi, munculnya dinasti kecil ini memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi, seperti Samarkand atau Bukhara yang menjadi kota perdagangan utama.
5.      Akhirnya banyak privinsi-provinsi tertentu yang mulai lepas dari genggaman Bani Abbas, ini bisa terjadi dengan beberapa cara, diantaranya:
a.       Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, contoh: Daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.
b.      Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah, kedudukannya bertambah kuat, contohnya: Daulat Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.[9]
B.     Hubugan dinasti-dinasti kecil dengan pemerintahan Islam di Baghdad
Kehadiran dinasti-dinasti-dinasti yang dependen pada masa Dinasti Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberlangsungan Dinasti Abbasiyah. Tanpa kehadiran dinasti-dinasti kecil ini, besar kemungkinan eksistensi Dinasti Abbasiyah tidak akan berumur panjang, seperti :
1.      Bidang Politik
a.       Memadamkan begitu banyak pemberontakan yang secara politis potensial dalam menggerogoti kewibawaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Contoh : Dinasti Aghlabiyah, misalnya, dalam sejarah Islam telah memiliki kontribusi besar dalam memadamkan pemberontakan rakyat di Tripoli, pemberontakan yang dipimpin oleh Hamdis, pemberontakan Ziyad bin Sahal, pemberontakan Ahmad, pemberontakan Mansyur ibn Nasyr, pemberontakan ‘Umar bin Salim, pemberontakan-pemberontakan lainnya yang umumnyabanyak dipelopori oleh suku Barbar. Pemberontakan-pemberontakan yang berpotensi politis dan menghabiskan anggaran atau kas negara ini bisa diatasi oleh Dinasti Abbasiyah karena kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut yang secara hirarkis-politis masih menganggap Dinasti Abbasiyah sebagai “pusat pemerintahan mereka”.[10]
2.      Bidang ekonomi.
a.       Keberadaan dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah untuk memeratakan perkembangan ekonomi
b.      daerah-daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sangat luas tersebut.
c.       Dinasti-dinasti kecil yang lahir dan berkembang tersebut telah mampu memastikan pendapatan bagi kas negara Dinasti Abbasiyah terjamin dan terjaga.
3.      Bidang sosial budaya
a.       Melahirkan intelektual dan filosof-filosof besar.
b.      Dinasti-dinasti kecil ini dalam sejarah dianggap telah memberikan ruang untuk menumbuh kembangkan peradaban Islam dengan baik dan apresiatif. Jadi tidaklah mengherankan apabila dalam masa dinasti-dinasti kecil ini eksis, mereka telah mampu memfasilitasi zaman untuk melahirkan intelektual dan filosof-filosof besar Islam sekaliber Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Ibn al-Na’im, Abu Farij al-Isfahan, al-Khaitami dan lain-lain.
c.       Apresiatif dengan seni arsitektur. Jadi tidaklah mengherankan apabila pusat-pusat pemerintahan dinasti-dinasti kecil ini memiliki banyak bangunan-bangunan (terutama masjid) dengan arsitektur yang indah danmegah.
4.      Bidang keagamaan.
a.       Dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar dalam menyebarkan ajaran Islam ke daerah phery-phery. Tanpa adanya “perpanjangan tangan” Dinasti Abbasiyah (baca : dinasti-dinasti kecil), besar kemungkinan penyebaran Islam ke daerah-daerah pinggiran
b.      kekuasaan Dinasti Abbasiyah tidak mampu berjalan dengan baik dan dengan intensif sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti-dinasti kecil tersebut.[11]
C.    Dinasti-dinasti di Timur Baghdad
1.      DINASTI THAHIRIYYAH (205-259 H. /820-872 M.)
a.      Sejarah Berdirinya
Thahiriyyah adalah merupakan salah satu dinasti yang muncul pada masa Daulah Abbasiyah di sebelah timur Baghdad, berpusat di Khurasan dengan ibu kota Naisabur. Dinasti ini didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205H/821 M di Khurasan,dinasti ini bertahan hingga tahun 259 H/873 M.
Thahir muncul pada saat pemerintahan Abbasiyah terjadi perselisihan antara kedua pewaris tahta kekhalifahan antara Muhammad al-Amin (memerintah 194-198 H/809-813 M ), anak Harun ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Arab (Zubaidah) sebagai pemegang kekuasaan di Baghdad dan Abdullah al-Makmun anak Harun ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Persia, sebagai pemegang kekuasaan di wilayah sebelah timur Baghdad.[12]
Thahir ibn Husein merupakan seorang jenderal pada masa khalifah Dinasti Abbasiyah yang lahir di desa Musanj dekat Marw dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara pemerintah Abbasiyah di Baghdad dengan keluarga Thahir sudah terjalin sejak lama. Karena itu cukup beralasan bila pemerintah Baghdad memberikan kepercayaan kepada generasi keluarga Mash’ab ibn Zuraiq untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan lokal. Tujuannya tetap sama, menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam Abbasiyah di wilayah Timur kota Baghdad dan menjadi pelindung dari berbagai kemungkinan serangan negara-negara tetangga di Timur.[13]
Sebenarnya, latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan kekuasaan  antara al-Makmun dengan al-Amin.[14] perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun ar-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai bentuk penghargaanatas jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain atau Zu al-Yaminain ( trampil ), bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan tangan yang hebat (minus one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir juga diberi kepercayaan untuk menjadi gubernur di Khurasan pada tahun 205 H, jabatan ini diberikan oleh al-Makmun sebagai balasan atas jerih payahnya dalam medan perang.
Jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti karir politik pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang diraihnya ternyata belum memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Baghdad. Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segera melepaskan diri dari pemerintahan
Baghdad. Di antaranya dengan tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap kesempatan dan mata uang yang di buatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang independen dari pemerintahan Baghdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada 207 H. Setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun begitu, khalifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada putranya bernama Thalhah ibn Thahir.[15]
b.      Kemajuan-kemajuan yang dicapai
Dinasti Thahiriyyah mengalami masa kemajuan ketika pemerintahan di pegang oleh Abdullah ibn Thahir, saudara Thalhah. Abdullah memiliki kekuasaan dan pengaruh yang cukup besar, belum pernah hal ini dimiliki oleh para Wali sebelumnya. Ia terus menjalin komunikasi dan kerjasama dengan Baghdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Baghdad yang pernah dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, terus ditingkatkan. Peningkatan keamanan di wilayah perbatasan terus dilakukan guna menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang mengacaukan pemerintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga memberika ruang yang cukup luas bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di lingkungan masyarakatnya di wilayah Timur Baghdad. Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dunia islam, kebuadayaan dan memajukan ekonomi, dinasti ini menjadikan kota Naisabur sebagai pusatnya, sehingga pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Adanya pertumbuhan ekonomi yang baik inilah yang sangat mendukung terhadap kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada umumnya.[16]
c.       Masa-masa kemunduran
Dalam perjalanan selanjutnya, dinasti ini justru tidak mengalami perkembangan ketika pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H), saudara kandung Abdullah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemesrosotan. Faktornya antara lain ;
Pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Baghdad, karenanya Baghdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggusur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru, yaitu dinasti Saffariyah.
Pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para penguasa dinasti ini. Gaya hidup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban islam.
Keamanan dan keberlangsungan pemerintahan tidak terpikirkan secara serius, sehingga keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama mengincar posisi strtegis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah. Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Baghdad untuk menumpas sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Baghdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur kota Baghdad.
Dalam perjalanan selanjutnya, dinasti ini justeru tidak mengalami perkembangan ketika pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H), saudara kandung Abd Allah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya antara lain, adalah pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Bagdad, karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggusur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru, yaitu dinasti Saffariyah. Muhammad ibn Thahir II memiliki kemampuan yang rendah dibandingkan pendahulu-pendahulunya, pada tahun 259H/873 M dia menyerahkan Nisyapur kepada Ya’qub ibn Layts. Pada tahun 271H/885 M dia ditunjuk kembali menjadi gubernur, namun tidak pernah menjalankan jabatan itu dengan baik, dan dia meninggal pada awal abad kesepuluh[17]
 Faktor lain penyebab kemuduran dan kehancuran dinasti Thahiriyah adalah pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para penguasa dinasti ini. Gaya hidup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Selain itu, persoalan keamanan dan keberlangsungan pemerintahan juga tidak terpikirkan secara serius, sehingga keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama mengincar posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah. Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad untuk menumpas sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad.[18]

2.      DINASTI SAFARIYAH (254-290 H/868-901 M)
a.      Latar Belakang dan Sejarah Bedirinya Dinasti Shaffariyah
Dinasti Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia Islam. Wilayah kekuasaan dinasti Shaffariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang pemimpin  kelompok khawarij di provinsi Sistan.[19]
Gelar al-Saffar dilekatkan di belakang namanya ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli dalam me-nempa tembaga atau kuningan, semacam mpu di Jawa,yang diwarisi secara turun temurun. Kegagalan usaha keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan gerakan perampokan. Sasaran dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melintas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudian diberikan kepada para fakir miskin.[20]
Pada mulanya, Ya’kub ibn Layts bersama saudaranya bernama ‘Amr ibn Layts membantu pasukan pemerintah Bagdad dalam memberantas pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa tentara Thahiriyah di wilayah Sijistan. Keberhasilannya di Sijistan, membawanya ke puncak pimpinan tentara sebagai komandan untuk menaklukkan wilayah Herat, Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan Persia yang digabungkan dengan Balkh. Atas jasa dan prestasinya, khalifah al-Mu’tamid mengangkatnya menjadi gubernur membawahi wilayah Balkh, Turkistan, Kirman, Sijistan dan Sind. Ambisi Ya’kub ternyata tidak cukup sampai di situ. Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan mengalahkan Fars pada 869 M, dan menduduki Syiraj, ibu kota Fars. Kemudian pada 873 M menduduki Nisabur dan sisa wilayah Thahiriyah. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 875 M, dari Fars ia bergerak menuju Bagdad, dan berusaha menduduki ibu kota tersebut. Tetapi menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km, pasukannya dihadang oleh pasukan al-Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak menyurutkan ambisinya, malah ia bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum dilaksanakan, ia keburu meninggal dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap sebagai gubernur yang tidak loyal, yang melampaui batas mandat yang diberikan khalifah, tetap saja jabatan gubernur untuk wilayah Timur dipercayakan kepada saudara Ya’kub al-Layts, yaitu Amr ibn Layts.[21]
Dinasti Shaffariyah yang didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar ini justeru mengalami kehancuran ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang oleh ‘Amr ibn al-Layts, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah kekuasannya hingga Transoxania (ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya dihambat oleh Bani Saman, dan beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani Saman, kecuali Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepenuhnya merdeka, karena ia harus tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan posisi jabatan gubernur tetap berada di bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M, meskipun seringkali terjadi pergantian penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah silih berganti berada di bawah penguasa lain setelah dinasti Samaniyah, seperti menjadi penguasa lokal (gubernur) yang tunduk pada pemerintahan dinasti Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa dinasti ini bertahan begitu lama. Hal pasti yang dapat ditegaskan di sini bahwa keberadaan dinasti ini karena persoalan politik praktis dan pragmatis. Sebab menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri khas dari dinasti ini adalah ambisinya untuk memperoleh kekuasaan otonomi di Sijistan, sebagai pusat pemerintahannya. Karenannya, ketika kekuasaan datang silih berganti, dinasti ini tetap memperoleh hak otonom di Sijistan hingga abad ke-15 M.[22]
b.       Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Shaffariyah
Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Amr ibn Lays, ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya sampai ke Afganistan Timur.[23]
Dalam masa pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, terutama perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffariyah meletakkan dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang miskin di Sijistan. Karena itu, faktor inilah yang kemungkinan menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung pemerintahan, terutama komunitas masyarakat miskin. Seorang amir abad kesepuluh, Khalaf ibn Ahmad, menjadi termasyhur sebagai pelindung ilmu pengetahuan.[24]
c.       Pada tahun 393 H/1003 M Mahmud dari Ghazna menguasai provinsi itu dan menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya, namun Shaffariyah terus bertahan, dan pada pertempuran Ghaznawiyah-Seljuq pada tahun-tahun pertengahan abad kesebelas memperkuat posisinya, mula-mula berkuasa sebagai bawahan Seljuq, kemudian sebagai bawahan ghuriyyah. Bahkan setelah invasi Mongol dan Timur, kejadian-kejadian yang begitu kalut dan menyedihkan bagi sebagian besar dunia Islam Timur, Dinasti Shaffariyah berhasil bertahan sampai akhir abad kelima belas.[25]

3.      DINASTI SAMANIYAH (261-389 H/873-998 M)
a.      Sejarah berdirinya
Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah dinisbahkan kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan. Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khafilah yang memerintah secara berurutan, yaitu;
1.      Ahmad I ibn Asad Samaniyah (Gub. Farghana)        204 H/819 M
2.      Nash I ibn Ahmad, (semula Gubernur Samarkand)    279 H/864 M
3.      Ismail I ibn Ahmad                                                     279 H/892 M
4.      Ahmad II ibn Ismail                                                   295 H/907 M
5.      Al-Amir as-Sa’id Nashr II                                          301 H/914 M
6.      Al-Amir al-Hamid Nuh I                                            331 H/943 M
7.      Al-Amir al-Mu’ayyad Abdul Malik I                         343 H/954 M
8.      Al-Amir as-Sadid Manshur I                                      350 H/961 M
9.      Al-Amir as-Ridha Nuh II                                           365 H/976 M
10.  Manshur II                                                                  387 H/ 997 M
11.  Abdul Malik II                                                            389 H/999 M
12.  Ismail II Al-Muntashir                                                1000-1005 M
Dinasti ini berbeda dengan dinasti kecil lain yang berada di sebelah barat Baghdad, dinasti ini tetap tunduk kepada kepemimpinan khafilah Abbasiyah.[26]
Dalam sejarah islam tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut islam  pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu Samankhadut dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) dari dinasti Bani Abbasiyah, empat cucu Samankhudat memegang  jabatan penting  sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah yaitu Nuh di Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan Traksoksania, yahya bin Asad di Shash serta Asyrusanah (daerah di utara Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.[27]
Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniyah di daerah kekuasaannya, Farghana Ahmad mempunyai dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan khalifah Abbasiyah . Nasr I bin Ahmad di percayakanmenjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il bin Ahmad di Bukhara. Selanjutnya Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi basisperkembangan dinasti Samaniyyah. Karenanaya Nasr I bin Ahmad di anggap sebagai pendiri hakiki dinasti ini. Antara Nasr dan saudaranya, isma’il selalu terlibat konflik yang mengakibatkan terjadinya peperangan, dalam peperangan yang terjadi Nasr mangalami kekalahan yang kemudian ia di tawan, sehingga kepemimpinan Dinasti Samaniyyah beralih ke tangan Isma’il bin Ahmad.
Adanya peralihan kepeminpinan ini menyebabkan berpindahnya pusat pemerintahan yang semula di Khurasan di pindahkan ke Bukhara. Pada saat pemerintahan di pimpin Isma’il I bin Ahmad, ia selalu berusaha untuk;
1.      Memperkukuh kekuatan dan mengamankan batas wilayahnya dari ancaman suku liar Turki.
2.      Membenahi administrasi pemerintahan.
3.      Memperluas wilayah kekuasaan ke Tabaristan (Irak utara) dan Rayy (Iran).
Isma’il I bin Ahmad adalah orang yang sangat mencintai dan memuliakan para ilmuwan serta bertindak adil terhadap rakyatnya, setelah ia wafat pemerintahan di teruskan putranya Ahmad bin Ismai’il. Setelah Ahmad bin Isma’il, pemerintahan di teruskan putranya Nasr II bin Ahmad yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Sijistan, Karman, Jurjan di samping Rayy, Tabaristan,Khurasan, dan Transoksania. Setelah Nasr II bin Ahmad, para khalifah berikutnya tidak mampu lagi melakukan perluasan wilayah, bahkan pada khalifah terakhir Isma’il II al-Muntasir, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari serbuan tentara dinasti Qarakhan dan dinasti Ghaznawiyah dari Turki. Akhirnya wilayah Samaniyyah di pecah menjadi dua, daerah Transoksania direbut oleh Qarakhan dan wilayah Khurasan menjadi pemilik penguasa Ghaznawiyah.[28]
b.      Kemajuan-kemajuan yang di capai
Dinasti Samaniyyah telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajuan islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, budaya, politi, dan lain-lain. Tokoh atau pelopor yang sangat berpengaruh di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan   pada dinasti ini adalah ibn sina, selain beliau juga muncul para pujangga dan ilmuwan di bidang kedokteran, astronomi dan filsafat yang sangat terkenal, seperti Al-Firdausi, Ummar Kayam, Al-Bairuni dan Zakariya Ar-Razi. Dinasti ini telah berhasil menciptakan kota Bukhara dan Samarkan sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang sangat terkenal di seluruh dunia, sehingga kota ini dapat menyaingi kota-kota lain, seperti Baghdad dan Cordova. Dinasti ini juga telah berhasil mengembangkan perekonomian dengan baik, sehingga kehidupan masyarakat sangat tentram, hal terjadi karena dinasti ini tidak pernah lepas hubungan dengan pemerintah pusat di Baghdad.
Puncak kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa khalifahan Ismail. Kemajuan yang dicapai pada masanya antara lain: mampu menghancurkan Dinasti Shaffariyah di Transoxania, serta mampu memperluas wilayahnya hingga Tabaristan, Ray, Qazwin sehingga keamanan dalam negeri terjamin.[29]
Dinasti ini memiliki saham yang cukup berarti bagi perkembangan Islam, baik dari aspek politik maupun aspek kebudayaan.Dalam aspek politik, misalnya mereka telah mampu memelihara tempat atau pusat yang strategis bagi daulat Islam di timur, mengembangkan kekuasaan Islam sampai ke wilayah Turki.Sedangkan dalam aspek kebudayaan, misalnya di istana Dinasti Samaniyyah di Bukhara ini menjadi tempat menetapnya para ulama serta merupakan kiblatnya para pujangga.
Pada masa Nuh ibnu Nashr al-Samani, ia memiliki perpustakaan yang tidak ada bandingannya. Di dalamnya terdapat kitab-kitab masyhur dari berbagai disiplin ilmu, yang tidak terdapat di tempat lainnya.Mereka juga membantu menghidupkan kembali bahasa Persia.
Ketika paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim wa tadlid, seperti yang digariskan oleh khalifah al-Mutawakkil dan Imam Ahmad ibnu Hambal, maka perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat memuncak di tangan daulat Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada waktu itu.Di zaman ini lahir para tokoh pemikir Islam, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, al-Firdausi, dan lain-lain.Sementara itu di wilayah politik yang menarik dikaji adalah bahwa munculnya dinasti-dinasti di timur Baghdad ini di suatu sisi dianggap sebagai pergeseran dominasi Arab dalam dunia politik.[30]
c.       Masa –masa kemunduran
Pada saat dinasti mencapai kejayaannya, banak imigran Turki yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan, namun bersebab dari tingginya fanatic kesukuan pada dinasti ini, akhirnya mereka para imigran Turki yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan tersebut banyak yang di copot, langkah-langkah inilah yang menyebabkan kehancuran dinasti ini, karena mereka tidak terima dengan perlakuan tersebut, sehingga mereka mengadakan penyerangan sampai mereka berhasil melumpuhkan dinasti ini.
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Mukhtafi mengangkat Abu Nashr ibnu Ismail, anak dari Ismail. Belum lama memerintah lalu ia terbunuh, dan digantikan oleh putranya Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Para tokoh Samani merasa khawatir, sementara itu masih ada paman bapaknya, yaitu Ishaq ibnu Ahmad, penguasa Samarkand yang memihak kepada penduduk Transoxania.Lalu tokoh Samani menyampaikan permohonan kepada khalifah al-Muktadir, agar didatangkan pemerintahan dari Khurasan, tetapi khalifah bersikeras menolaknya.
Pada pertengahan abad kesepuluh, terlihat Dinasti Samaniyyah menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan.Serangkaianrevolusi istana memperlihatkan bahwa kelas militer dan kelas tuan tanah menentang kebijaksanaan sentralisasi administratif para amir, dan berupaya memegang kendali, pemberontakan-pemberontakan di Khurasan melepaskan provinsi itu dari otoritas langsung Bukhara. Maka tidaklah sulit bagi Qarakhaniyyah dan Ghazwaniyah untuk mengambil alih wilayah-wilayah Samaniyyah pada dasawarsa terkhir abad ini.Dan pada tahun 1005 M Ismail al-Muntasir terbunuh dalam pelariannya.[31]

4.      DINASTI UKAILIYAH (386-489 H/996-1095 M)
Ukailiyyah berasal dari kelompok suku badui besar Amir ibn Sha’sha’a, yang juga mencakup Khafaja dan Muntafiq di Irak bawah. Dengan runtuhnya penguasa terakhir Hamdaniyyah  dan Mosul, kota itu beralih ketangan Abu Dzawad Muhammad Ibnul Musayyib al-Aqili dari Ukailiyyah.[32]
Setelah Abu Dzawad Muhammad Ibnul Musayyib al-aqili meninggal, terjadi upaya untuk merebut kekuasaan di antara putra-putranya, suatu upaya yang menghancurkan semua pihak. Namun penguasaan atas Mosul dan kota-kota lain Ukailiyyah dan benteng-bentengnya di Al-Jazirah akhirnya berada di tangan Mu’tamid Daulah Qarawisy ibn Al-Muqallid. Problem utama Mu’tamid Daulah Qarawisy ibn Al-Muqallid adalah menjaga ketuhanan wilayah kekuasaannya agar tidak di invasi Oghuz dari Persia barat dan irak. Upaya menjaga keutuhan ini mengharuskan membuat persekutuan dengan penguasa lain di irak yang sama-sama terancam yaitu Mazyadiyyah Hilla.[33]
Kemudian, di bawah Syarafud Daulah Muslim ibn Qarawisy wilayah kekuasaan Ukailiyyah terbentang hampir di Baghdad sampai ke Aleppo. Ukailiyyah bukanlah dinasti Badui yang haus perang, tetapi telah memperkenalkan beberapa hal penting dari pola baku pemerintahan Abbasiyyah ke wilayah mereka. Pemerintahan ini terus berlangsung hingga akhirnya dihancurkan oleh orang-orang saljuk pada tahun 489 H/1095 M.[34]
5.      DINASTI GHAZNAWIYYAH (351-585 H/962-1189 M)
Sejak tahun 850-an M, Kehalifahan Abbasiyah berusaha mencari orang-orang yang dapat dipercaya untuk dijadikan tentara. Mereka tidak memakai jasa orang Arab karena takut orang-orang tersebut akan berusaha merebut kekuasaan. Abbasiyah lalu merasa bahwa orang-orang Turk merupakan prajurit yang terpercaya. Maka dari itu orang-orang Abbasiyah mulai menangkap sejumlah pemuda Turk untuk dijadikan budak, lalu mendidik mereka menjadi tentara. Ternyata orang Turk terbukti menjadi prajurit yang handal. Namun seiring waktu orang-orang Turk itu mulai mengambil kekuasaan para khalifah Ababsiyah. Pada tahun 962 M, khalifah Ababsiyah memecat Alptigin, jenderal yang bertugas mengurus daerah Khurasan (Afghanistan modern).
Wilayah dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian timur, Afganistan, Pakistan dan beberapa wilayah bagian India.[35] Pusat pemerintahannya di kota Ghazna Afganistan.[36] Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke India menyebarkan agama Islam , menghancurkan berhala menggantikan kuil dengan masjid dan mampu berjaya sampai kurang lebih 220 tahun.[37] Namun Alptigin tidak ikhlas dengan pemecatannya. Dia pun berangkat ke selatan dan merebut benteng Ghazni dari orang-orang Samaniyah yang sebelumnya menguasainya. Dia meninggal setahun kemudian namun anak buahnya berhasil merebut Afghanistan dan mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Para prajruit ini dikenal sebagai Ghaznawiyah sesuai nama benteng mereka. Mereka lalu menaklukan Kabul pada tahun 977 M. Di bawah sultan agung Mahmud, cucu Alptigin, mereka merebut Herat dari kekuasaan Samaniyah pada tahun 1000 M, dan menguasai sebagian Persia (Iran modern) juga. Setelah itu pasukan Ghaznawiyah mulai menyerbu India.
Pada awalnya serbuan Sultan Mahmud ke India adalah untuk mendapatkan emas dan budak, serta untuk menghancurkan berhala-berhala di sana. Banyak kuil Hindu di India utara yang dihancurkan dalam serbuan ini, termasuk kuil Siwa yang terkenal di Gujarat. Mahmud memperoleh banyak sekali harta rampasan sehingga dia mampu membangun istana yang indah di Ghazni. Dia bahkan memiliki 2500 gajah di sana. Jika tiba musim dingin di Ghazni, Mahmud dan anak buahnya akan berpindah ke Bost menggunakan gajah. Namun pada akhirnya Mahmud menaklukan Punjab (Pakistan modern dan India utara) dan menjadikannya bagian dari kekuasaannya. Mamhmud memerintah sekitar 30 tahun sebelum akhirnya meninggal pada tahun 1030 M. Dinasti Ghaznawiyah tidak bertahan lama setelah kematiannya. Pada tahun 1040 M, Ghaznawiyah ditaklukan oleh orang-orang Seljuk dan Ghuri.[38]
6.      DINASTI SALJUK
Orang Saljuk adalah orang Turk nomad dari Turkmenistan. Mereka berkerabat dengan orang Uygur, yang memasuki Kekhalifahan Abbasiyah sekitar tahun 950 M dan secara bertahap memeluk Islam Sunni. Pada tahun 1030 M mereka mulai merebut kekuasaan, dan dengan cepat menaklukan Kesultanan Ghaznawiyah, yang juga merupakan bangsa Turk. Ini membuat orang Seljuk berhasil menguasai sebagian besar Persia (Iran modern). Ibukota mereka adalah Isfahan. Seperti halnya orang Ghaznawiyah, orang Seljuk juga menuturkan bahasa Persia dan mempraktikkan kebudayaan Persia.
Pada tahun 1055 M, sultan Seljuk, berhasil menaklukan Irak. Setelah itu, meskipun masih ada Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, khalifahnya bisa dibilang harus tunduk pada Togrul. Setelah Togrul Beg meninggal pada tahun 1063 M, dia digantikan oleh keponakannya Alp Arslan ("singa pahlawan").
Di barat, Alp Arslan bertempur untuk merebut Suriah dari kekuasaan Fatimiyah serta Armenia dari kekuasan Kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1070 M, kaisar Bizantium Romanus IV Diogenes memutuskan untuk menghalau Seljuk dari Armenia. Pada awalnya pasukan Bizantium, yang dibantu orang Norman, memperoleh kemenangan. Kemudian terjadi pertempuran besar Manzikert pada tahun 1071 M, sebelah timur sungai Efrat, dan Bizantium mengalai kekalahan. Seljuk tidak hanya memperoleh kemenangan, melainan juga menangkap kaisar Diogenes. Pada akhirnya, Alp Arslan membebaskan Diogenes dengan tebusan berupa emas dalam jumlah banyak serta wilayah Armenia dan banyak wilayah Bizantium lainnya. Setelah itu kedua pihak ini berdamai.
Alp Arslan meninggal setahun kemudian dan putranya Malik Shah naik tahta menjadi sultan. Setelah Malik Shah meninggal pada tahun 1092, Seljuk mulai melemah, dan pada tahun 1192 dinasti mereka runtuh. Kesultanan Seljuk Raya kemudian terpecah menjadi beberapa kesultanan kecil.Wilayah Kesultanan Rum pada tahun 1190 M. Kesultaan Rum adalah salah satu kesultanan pecahan dari Kesultanan Seljuk Raya Ketika Mongol datang menyerbu Asia Barat, Bizantium dan Seljuk bertempur bersama-sama melawan Mongol. Akan tetapi mereka kalah, dan pada tahun 1243 M. Mongol merebut Iran dan Anatolia (Turki mod ern). Setelah Kekaisaran Mongol runtuh, salah satu sultan Seljuk yang bernama Utsman mendirikan kesultanan baru yang disebut Utsmaniyah.[39]

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dari berbagai pembahasan yang menjelaskan tentang sejarah dalam makalah ini maka dapat kita ambil kesimpulan yaitu ;
1.      Munculya dinasti- dinasti kecil di Timur dan Barat Baghdad dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yaitu karena Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, sehingga hal ini menyebabkan khalifah terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil. Namun munculnya dinasti-dinasti kecil tersebut juga turut memberikan andil dalam perkembangan dan kemajuan Islam.
2.      Dinasti-dinasti diwilayah timur Baghdad;
a.       Dinasti Thahiriyyah (205-259 H./ 820-872 M)
b.      Dinasti Shafariyyah (254-290 H./ 868-901 M)
c.       Dinasti Samaniyyah (261-389 H./873-998 M)
d.      Dinasti Ukailiyyah (386-489 H./996-1095 M)
e.       Dinasti Ghaznawiyyah (351-585 H./962-1189M)
f.       Dinasti Saljuk (429-700 H./1037-1299 M)






[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 253.
[2] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 90
[3] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam II (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam,1996) h. 437
[4] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 87
[5] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam, h.438

[6] Http/google.com: https://.wordpress.com/2015/10/5/ (Dinasti kecil Bani Abbasiyah di Bagdad)

[7] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Toha Putera, 1997).
[8] Ibid.
[9] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Toha Putera, 1997).
[10] Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2007).
[11] Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2007).
[12] Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedia Islam (Jakarta 2003), h. 33.
[13] Philip K.Hitti. History of the Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Setia, 2010). HAL 585.
[14] Ibid, 585.
[15] C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, Eidenburgh, 1980. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan , (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1993), hal 126.
[16] http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com
[17] Bosworth, hal 127.
[18] http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com
[19] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal 275.
[20] Hitty, hal 586.
[21] http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com

[22] Bosworth, hal 131.
[23] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal 275.
[24] Ibid, hal 132.
[25] http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil di Baghdad. Wordpress.com.
[26]Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedia Islam,(Jakarta; 2003) h. 159.
[27]Ahmad Al-Usairy, At-Tarikhul Islam,(Terjemahan; 2003), h. 266.
[28]Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, h.180-181.
[29] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, h. 105.
[30]Ibid.
[31] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, h.183-184.
[32] Ahmad Al-Usairy, At-Tarikhul Islam,(Terjemahan; 2003), h. 277.
[33] C. E. Broswoth, Dinasti-Dinasti Islam,(Terjemahan; 1980), h.81
[34] Ahmad Al-Usairy, At-Tarikhul Islam,(Terjemahan; 2003), h. 278.
[35] Hasan Ibrahim Hasan, Tarekh al-Islam, ( Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1979), jilid III h. 94
[36] sebelah selatan kota Kabul (Afganistan bagian Timur ) dan sebelah utara kota Kandahar. lihat   Hammond , Op.Cit, h: 46
[37] Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Op. Cit, h: 169
[39] https://id.wikibooks.org/wiki/Islam_Abad_Pertengahan/Sejarah/Seljuk 2015/10/05.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar