Senin, 22 Agustus 2016

Tradisi halal bi halal

Dari berbagai tradisi umat Islam, khususnya umat Islam yang berada di Indonesia pasti kenal dengan istilah halal bi halal atau biasa disingkat HBH. Tradisi ini adalah tradisi yang dilakukan pada saat kita telah menuai kemenangan setelah berpuasa selama sebulan pada saat bulan ramadhan. Tradisi ini dalam Islam diambil dari dalil فاعفوا واصفحوا " saling memafkan dan bermushofahah", jadi halal bi halal adalah tradisi maaf maafan antar umat muslim, setelah diri kita sudah fitrah dari kesalahan kita kepada Allah, atau hablum mina Allah. Untuk itu agar fitrah kita sempurna baik dengan Allah maupun dengan sesama umat manusia maka kita harus meminta maaf kepada saudara saudara muslim kita yang pernah kita taruhkan kesalahan kepada dirinya. Untuk itu tradisi halal bi halal ini hanya ada dalam negara Indonesia, karena halal bi halal secara bahasa tidak bisa diterjemah, atau ditarkib kalimat halal bi halal ini asalnya dari mana. Halal bi Halal adalah tradisi yang dibuat oleh KH Wahab Hasbullah Tambakberas Jombang. Tradisi ini kemudian diterima dan diikuti oleh seluruh umat muslim di Indonesia. Tradisi saling memaafkan dalam Islam memiliki dua pendapat dari Ulama' madzhab. Yang pertama dari Imam maliki, bahwasanya meminta maaf itu cukup dengan menyebutkan kesalahan kita secara ijmal atau global. Contoh: kawan maafkan segala kekhilafanku ya? Dengan kalimat seperti ini saja dosa si peminta maaf tersebut bisa diampuni. Ini adalah pendapat imam maliki. Kemudian pendapat kedua adalah pendapat dari Imam syafii. Imam syafi'i berpendapat bahwa seseorang yang meminta maaf harus diterangkan kesalahannya secara tafsili atau terperinci.

Tarikh Tasyri'

ITarikh tasyri' dalam Agama Islam merupakan sebuah ilmu pengetahuan dalam mengetahui sejarah sejarah pensyariatan
Hukum hukum Islam. Tarikh tasyri' merupakan sebuah ilmu yang penting dalam memahami hukum hukum terdahulu, karena dengan ilmu tersebut kita dapat mengetahui sebuah hukum dari segi kontekstual menurut sejarah pensyariatanya. Dalam ilmu tarikh tasyri' harus diketahui tiga syarat agar tarikh tasyri' dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan.
1. Dari segi ontologi: dalam tarikh tasyri' terdapat mufakkiru al-hukmi atau musyri' atau mujtahid atau mustambit. Juga terdapat natijatul fikrah atau fiqih. Kemudian terdapat tadrajul fikrah atau tasyri' dan terdapat sirrah fikrah atau kholfiyah kholfiyah, diantaranya kholfiyah idelogi, ijtimaiyah, siyasiyah, tsiqofiyah.
3. Kemudian dr segi epistimologi terdapat istiratajiyah, madholiyyah atau pendekatan dalam memahami sebuah masalah masalah yang telah ditemukan, baik melakukan pendekatan melalui al-Quran, al-Hadis, ijma' qiyas, atau memahami konteks pada hukum yang telah ada.

Kamis, 18 Agustus 2016

Dibalik kemenangan tantowi

Tontowi dan Santri Juara dalam Olimpiade Bergengsi

Oleh M Abdullah Badri

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Muhadjir Efendi boleh berbangga menyatakan kalau terpilihnya dia sebagai menteri karena Muhammadiyah tempat ia berorganisasi lebih unggul dalam pendidikan. Tapi dia tidak boleh nyinyir dengan prestasi nyata lembaga pendidikan milik Nahdlatul Ulama’ (NU) yang senyatanya lebih bisa dikabarkan.

Pasalnya, dalam Olimpiade, even olahraga bergengsi di dunia itu, pemuda lulusan SMK Ma’arif NU Selandaka, Sumpiuh, Banyumas bernama Tontowi Ahmad (28) berhasil mengembalikan tradisi perolehan emas dalam olahraga bulutangkis setelah sekian tahun kandas.

Bersama pasangan timnya Liliana Natsir, Tontowi yang pernah nyantri di Queen Al-Falah, Ploso Kediri itu mengibarkan bendera merah putih di Rio de Janeiro, pada Rabu (17/08/2016) malam, bersamaan dengan semarak jutaan santri di Nusantara yang gegap gempita merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-71 di masing-masing pondok mereka, lengkap tanpa mengubah kostum khas santri lakinya sarung, jubah, surban, kopiah, jilbab dan sandal.    

Heroisme santri di dalam negeri tersambung dengan meluapnya kebanggaan anak negeri ketika Tontowi dinyatakan menang melawan rivalnya dari Malaysia. Asal tahu saja, sebelum Owi –panggilan Tontowi,- berlaga, broadcast kiriman doa kepadanya sempat viral di grup-grup santri, baik Facebook maupun WhatsApp.

Owi pernah nyantri sekitar tahun 2000. Karena itulah Owi pantas didoakan oleh komunitas muslimin pesantren. Kedua orang tuanya pun aktivis NU di daerah. Tercatat, ibunya yang bernama Nyai Masruroh adalah Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) Muslimat NU Kecamatan Sumpiuh. Sementara, ayahnya Kiai Muhammad Husni Muzaitun adalah Ketua Pengurus Ranting (NU) Desa Selandaka, Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah.

Owi, santri yang pada tahun 2005 pernah tergabung dalam Persatuan Bulutangkis (PB) Djarum di Kudus ini, kata orang tuanya, memang suka dengan bulutangkis sejak kecil. Dorongan menjadi atlit kian mudah karena ayahnya juga hobi main bulutangkis.   

Olimpiade Matematika
Sama hebatnya dengan prestasi Owi adalah santri-santri didikan lembaga pendidikan NU di Jepara. Dua siswa dari Yayasan Pendidikan NU (YPNU) Mathalibul Huda, Mlonggo, Jepara juga menjadi juara dalam Olimpiade di Singapura. Bukan olahraga, namun matematika.

Dalam ajang bergengsi bernama Singapore International Mathematic Olympiad Challenge (Simoc) pada 12-15 Agutus 2016, Anisa Hayati, siswa kelas X MA NU Mathalibul Huda menyabet 2 medali emas kategori individu, kelompok dan best over all. Adik kelasnya di kelas IX MTs NU Mathalibul Huda bernama Dedi Wahyudi juga meraih medali parak (kelompok) dan perunggu (individu).

Selain dari Mathalibul Huda, santri Jepara yang menang dalam kompetisi tingkat Benua Asia itu ada yang berasal dari SDUT Bumi Kartini. Mereka adalah Izzati Kayla Anandita, Raihan Yusfi Zamroni (juara harapan/ kelompok) dan Ahmad Maulana Malik Ibrahim (medali perunggu/ individu). Barus kelas 5 tapi prestasinya menggila.

Nama-nama santri di atas adalah sosok yang menginspirasi anak negeri. Ini membuktikan bahwa santri itu poros ilmuan dan intelektual yang tidak pas jika disebut hanya bisa tahlilan, burdahan, maulidan, ratiban, manaqiban, ziarah, yasinan, dan segala bentuk amaliyah yang disebut kalangan salafi-wahabi sebagai bid’ah, syirik dan biang kemunduran.

Islam yang berkemajuan itu jika mendapat nikmat lekas bersyukur, sebagaimana dilakukan oleh orang tua Owi sesaat setelah dikabarkan menang olimpiade. Kabar prestasi dan kemenangan, bagi santri, adalah bagian dari tahadduts bin nikmat (saling menebar nikmat).

Artinya, nikmat dalam syukur itu tidak terselip pesan sombong atas asumsi dirinya sendiri yang lebih tinggi dari lainnya. Jika tidak demikian, kalangan santri menyebutnya dengan istilah “setan berbentuk manusia”.

Dalam bahasa guru besar saya, KH Ma’mun Ahmad Kudus, orang seperti itu ibarat “kesandung roto kebentus awang-awang” (tersandung datar, terbentur udara). Dia tidak merasa bersalah kepada orang lain, padahal, orang lain sudah merasakan akibat kesalahannya.

Dari sini, para santri telah terbukti banyak menginspirasi negeri. Ini belum saya lanjut pembahasan bagaimana para kiai-santri tanpa pamrih berjuang, berkorban harta, nyawa dan lainnya untuk memerdekakan negeri.

Tapi di ujung sana, masih ada saja yang mengharamkan hormat bendera, menyebut Pancasila tidak relevan, menuduh Indonesia negara thaghut, kafir dan halal pemimpinnya dibunuh, hingga pada 17-an kemarin, tidak ada suara dari mereka mengibarkan bendera merah putih. Bahkan mempertanyakan kemerdekaan Indonesia. Ah.

*santri Tasywiquth Thullab, Kudus

Pengaruh Teman dan lingkungan

Diibaratkan seperti padi, proses pertumbuhan padi, padi bisa tumbuh dan panen lancar itu karena terdapat tanah yang subur, kemudian adanya benih yang baik pula. Tetapi tidak hanya lahan dan benih saja. Padi ketika sudah tumbuh kecil harus selalu kita rawat, menyirami dengan air, dikasih pupuk, mencabuti rumput rumput yang menghalanginya dalam tumbuh. Sehingga padi tersebut bisa tumbuh dengan mudah dan dapat membuahkan panen yang melimpah. Begitu juga ketika kita merawat seorang anak, dari lahan dan benih kita yang sudah baik. Itu semua tidak cukup dalam menjaga anak agar anak tersebut selalu baik dalam menjalani kehidupannya. Dengan cara mencarikan lingkungan yang baik, teman yang baik, selalu menjaga dalam pergaulannya, carikan teman yang baik, yang membuat ia menjadi baik pula, karena pengaruh teman dan lingkungan dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak kita. Khususnya dalam soal spiritual, kita harus bisa menjaga agama kita, anak kita dan keluarga kita, untuk itu carilah lingkungan dan teman atau tetangga yang mendukung kita dalam menjalani kehidupan agama yang damai dan saling membantu, saling amar makruf nahi mungkar. Sehingga apapun yang kita lakukan bisa terkontrol dalam kehidupan kita. Seumpama jika kita meninggal dan meninggalkan anak yatim, kita tidak tau nanti agama anak kita apa,    akhlak anak kita seperti apa, maka yang jadi indikasi, kita bisa melihat lingkungan disekitar kehidupan dia. Kalau dilingkungan tersebut termasuk lingkungan yang baik dan teman teman mau pun tetangga dia adalah tetangga yang beragama dan baik, maka jangan khawatir, meskipun kita meninggalkan anak kita dalam keadaan yatim, pasti anak kita nanti menjadi orang baik karena hidup dilingkungan yang baik dan berteman dengan teman yang baik. Tetapi jika sebaliknya, maka keselamatan agama maupun akhlak anak kita akan terancam المرء على الدين خليله، karena agama seseorang tergantung pada agama temanya. Untuk itu jagalah diri kita anak kita dan keluarga kita dari perbuatan yang dholim dan selalu menjaga agama mereka.

Rabu, 03 Agustus 2016

artikel pluralisme




METODE ‘URF MENJADI PEMAHAMAN KRITIS AGAMA
DALAM PLURALISME BANGSA
NAMA: MISBAKHUL ILHAM
ABSTRAK
Misbakhul Ilham, 15210005, Metode ‘Urf Menjadi Pemahaman Kritis Agama Dalam Pluralisme Bangsa, Artikel, Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Dosen Pengampu: Nurul Jannah
Kata Kunci: Pluralisme, Urf’,  Hukum Islam
            Kondisi praktek paham pluralisme di era globalisasi ini sangatlah mencengkam. Banyak diantara pemuda, anak-anak maupun orang tua yang tidak menyadari apa yang telah mereka perbuat. Salah satunya dari kalangan muslim yang mengikuti budaya-budaya kristiani, seperti ikut serta dalam merayakan hari natal dan tahun baru. Hal tersebut telah menjadi suatu kebiasaan bagi kalangan muslim dalam merayakan hari besar orang kristiani. Mengenai hal tersebut banyak para Ulama mengatakan hal tersebut tidak diperbolehkan dan ada yang mengatakan diperbolehkan berdasarkan argumen yang mereka miliki. Metode Urf’ adalah salah satu metode dalam menangani kasus tersebut. Dalam hukum Islam, metode ini terdapat berbagai macam cara menangani masalah Pluralisme dalam problematika masyarakat beragama.
            Dalam artikel ini, terdapat rumusan masalah yaitu: 1) bagaimana pengertian Urf? 2) Bagaimana kondisi pluralisme agama pada saat ini? 3) Bagaimana pandangan hukum Islam menggunakan metode Urf’?. Artikel ini memiliki tujuan agar bangsa indonesia dari kalangan muslim memiliki paham yang normatif dalam menerapkan ajaran Agama Islam. Mengetahui akibat-akibat dari pluralisme yang terlalu berlebihan. Bisa menerapkan paham pluralisme dalam konteks Islam.
Pluralisme ditinjau dari makna katanya berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang.[1] Sementara secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan, atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.[2]
Sedangkan 'Urf atau adat ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Para fuqoha mendefinisikan Urf’ secara terminologi sebagai norma yang sudah melekat dalam hati akibat berulang-ulangnya, sehinga diterima sebagai sebuah realitas yang rasional dan layak menurut penilaian akal sehat, norma tersebut bisa dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat.[3]
Dalam Bangsa Indonesia telah menjadi suatu kebiasaan seorang Mukmin menyalahi aturan Agamanya sendiri, yaitu kebiasaan dalam pluralisme yang berlebihan. Kebiasaan tersebut adalah sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, gejala ini telah menyertai kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat Pluralistis. Namun seperti yang telah kita ketahui, setiap hari Natal atau Tahun Baru Masehi, banyak dari Masyarakat Muslim yang ikut serta dalam acara mereka, bahkan tidak jarang juga beberapa orang Muslim disana mengikuti tradisi-tradisi mereka, mulai dari perayaan Natal, sampai perayaan tahun baru masehi. Padahal pada hakikatnya Natal termasuk hari raya orang Kristen seperti hal nya hari raya idul fitri, dan idul adha adalah hari raya bagi kaum Muslim. Sedangkan perayaan tahun baru Masehi merupakan tahun baru kaumnya nabi isa yang dihitung sejak kenaikan al-Masih, maka orang-orang Islam yang menyerupai mereka termasuk golongan dari mereka sebagai mana yang terdapat dalam sebuah hadis
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk sebagian dari mereka”[4]
Dengan demikian apakah perbuatan orang muslim tersebut menyalahi aturan Agama? Bilamana terdapat sebagian orang Muslim yang menirukan tradisi orang Kristen. Kemudian apakah pluralisme seperti itu dibenarkan oleh Agama, Sekarang, pembahasan realitas antar Agama hendaknya harus diranjut kembali. Ideologi dan perspektif terhadap Pluralisme Agama, perlu penataan ulang dalam dimensi pikir, dari ideologi bahwa Pluralisme Agama menjadi sumber solusi pemicu perpecahan sosial. Kemudian bagaimana jika perbuatan tersebut merupakan adat yang dilakukan sejak zaman dahulu dalam masyarakat itu? Dan tidak ada kita ketahui dalam masyarakat Muslim Indonesia tidak sedikit  yang mengikuti tradisi orang Kristen. Apakah hal tersebut dibenarkan oleh Agama?
Dalam ulasan Nadhom Qawaid Fiqhiyyah Al Faraid Al Bahiyyah diterangkan mengenai adat atau ‘Urf dalam Islam. Dalam bukunya dijelaskan tentang bagaimana jika suatu adat bertentangan dengan Syara’, jika syara’nya tidak berhubungan dengan hukum, maka adat yang lebih diutamakan. Tetapi jika Syara’ berhubungan dengan hukum, maka Syara’ yang diutamakan.[5] Dengan demikian ikut serta dalam perayaan hari Natal dan tahun baru Masehi apakah termasuk sebuah ibadah yang memiliki beban hukum menurut mereka? tidak, karena suatu ibadah adalah jika mereka menyembah tuhan mereka. Mereka hanya berpesta ria karena mereka telah bertemu dengan hari besar mereka. Dengan demikian perayaan Natal dan Tahun Baru jika terdapat orang muslim yang ikut merayakannya, jika hati mereka tidak meyakini adanya tuhan mereka, dan tidak ikut dalam urusan ibadah mereka, maka diperbolehkan, karena tidak mengandung sebuah hukum, dan adat lebih diutamakan. Adat bisa dijadikan sebagai hukum karena العادة محكمة adat bisa dijadikan landasan hukum, dan kebanyakan dari masyarakat Indonesia memahami bahwa kebiasaan seperti itu diperbolehkan. Maka hukumnya diperbolehkan.
Tetapi jika dari golongan umat muslim hanya mengatakan selamat kepada orang non muslim, dalam perayaan hari tersebut. Maka hal tersebut diperbolehkan, karena sifat tersebut termasuk dalam sifat toleransi antar agama, dengan tanda kutip yang tidak berlebih-lebihan, hanya sekedar mengucapkan selamat. Pada dasarnya toleransi merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer adalah ajaran yang benar itu. Maka sebagai yang primer, toleransi harus kita laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu, bisa jadi untuk diri kita sendiri, pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”.[6]
Untuk memperkuat hal tersebut dalam Kajian kaidah-Kaidah Fiqh terdapat beberapa cara dalam menyelesaikan hal tersebut, diantaranya hukum adat tersebut, dalam kitab Qawaidul Fiqh terdapat sebuah nadzam:
مَبْحَثُ العَادَةُ هَلْ تُنَزَّلُ * مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ حِلاَفٌ يُنْقَلُ
وَغَالِبُ التَّرْجِيْحِ فِي الفُرُوعِ لاَ * يَكُوْنُ كالشَّرْطَ كَمَا تَأَصّلاَ
Maksud dari Nadzam tersebut adalah adat yang berlaku di suatu daerah, apakah disamakan dengan perjanjian (syarat-syarat)?, menurut pendapat yang paling benar adalah tidak.[7]
Dengan demikian maka dapat disimpulkan, jika suatu adat di suatu kaum tersebut memang tidak ada perjanjian terlebih dahulu sebelumnya, maka adat tersebut tidak bisa disamakan dengan perjanjian. Begitu juga jika para kaum tersebut telah menganggap bahwa Perayaan Natal dan Tahun Baru memang sudah menjadi kebiasaan tersendiri, dan mereka menganggap bahwa adat tersebut memang sudah mendarah daging bagi kaum tersebut baik Muslim maupun Non Muslim, maka diperbolehkan, dengan syarat hati mereka tidak meyakini Tuhannya Non Muslim, dan tidak mengikuti mereka dalam Ibadahnya, tetapi karena saling menghargai dan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Maka kebiasaan tersebut diperbolehkan.

DAFTAR PUSTAKA
Asyat, Abi Dawud Sulaiman bin. Sunan Abi Dawud. Beirut: Darr al-Risalah al-alamiyah. 2009.  jilid 6.
Ishomuddin. pengantar sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Majid, Nurcholis. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: TEKAD. 2002.
Manshur, Yahya Khusnan. Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-bahiyyah.  Jombang: Pustaka al-muhibbin. 2011.
Naim, Ngainum. Islam dan Pluralisme Agama. Yogyakarta: Aura Pustaka. 2015.





[1] Ishomuddin, pengantar sosiologi Agama (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h.59.
[2] Ngainum Naim , Islam dan Pluralisme Agama, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2015), h. 6-7.
[3] Yahya Khusnan Manshur, Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-bahiyyah, (jombang: Pustaka al-muhibbin, 2011), h. 91.
[4] Abi Dawud Sulaiman bin Asyat, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Darr al-Risalah al-alamiyah, 2009), jilid 6, no, 4031, h. 130
[5] Manshur, Ulasan Nadhom, h. 94-95.
[6] Nurcholis Majid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (jakarta: TEKAD, 2002), h. 17.
[7] Manshur, Ulasan Nadhom, h.98.